Jumat, 22 Mei 2015

PSIKOLINGUISTK



NAMA                        :   ULFAH DESIANA
NIM                             :   2222112354
KELAS                      :   IV   D
HALAMAN                :   30
            Perubahan bentuk Tata Bahasa dinyatakan pokok sintaksis unsure-unsur tidak ada pada permukaan. (misalnya bentuk kata bantu do), ilmu yang berkaitan dengan arti kata menyatakan unsure-unsur ilmu Semantik yang mendasar, seperti cause, do, dan become. Apalagi, kita dihadapkan dengan masalah nilai, sumber dan penggunaan psikologi dan pengetahuan yang abstrak yang dibutuhkan agar menggunakan alat secara produktif. Anda akan ingat sebuah pendapat tentang kalimat-kalimat ( 4 & 5): Jhon is easy/ eager to please. Kedua hai ini tidak berbeda dipermukaan, tapi ia dapat dibantah bahwa mereka mempunyai perbaedaan struktur sintaksis yang mendasar. Pendapat yang sama tentang kedua kalimat dibawah ini,  dimana tampak mempunyai struktur sintaksis:
            (35) Mery kissed John
            (36) Mery embarrassed Jhon
Kedua kalimat tersebut dapat digambarkan secara semantic sebagai berikut: (35-36)                                                                   
    S

                                                             NP                    VP   

                                                             Mary          V                         NP
                                                                               Kissed
                                                                                                            John
                                                                           Embarrassed
Untuk kedua kalimat tersebut, kita tau bahwa Mary itu sebagai subjek dan Jhon sebagai objek. Dalam istilah lain, kita tahu bahwa Mary sebagai agent dan Jhon sebagai patiente. Tapi kita tahu bahwa ada kelebihan dari kalimat ini dari pada fakta gramatikal. Kita tahu (35a) adalah frasa yang tidak dapat diterima dari (35) sementara (36a) adalah frasa yang dapat diterima dari (36):
                 (35a)   Apa mary telah dibuat Jhon tercium
                 (36a)   Apa Mary dibuat Jhon malu
Ini karena mencium tidak menyatakan sebuah perubahan kalimat,, ini tindakan sederhana. Apa Mary melakukan (36), namun, ia membawa perubahan kalimat pada Jhon. (itu lebih nyata, (35) tidak mencaritakan apa efek ciuman Mary pada Jhon, sementara (36), diam sebagai perbuatan nyata Mary, memberitahu kita kalimat laporan atau hasil perbuatan Jhon). Dalam istilah semantic secara umum, kedua kalimat ruppanya kalimat yang sama yang mempunyai struktur predikat-argumen yang mendasar.

                 (35)   
                                   
                                    PRED             ARG               ARG

                                    ‘kiss’               ‘Mary’             ‘jhon’






NAMA            :   ARI SULISTIARI
NIM                 :  22221122335
KELAS          :  VI   D
HALAMAN    :   31

(36’)

PRED                   ARG                                                         ARG

CAUSE          PRED             ARG                           PRED                      ARG

                      DO                    ‘Mary’                         BECOME          PRED          ARG

                                                                                                          ‘embarrased’  ‘Jhon’

Disini kamu lihat sebuah perkembangan yang lebih lengkkap dari apa yang saya harapkan di awal chapter dalam mendiskusikan “kopi panas”. Tata bahasa membuat itu mungkin meninggalkan banyak arti dipesan selengkapnya. Dalam (36) kata “malu” disandingkan predikat CAUSE, do dan Become yang mendasar. Pada tingkat analisa dasar ini kita dapat menuju lebih jauh dengan kata-kata dari sebuah bahasa, tapi dengan ide-ide yang mana akan menjadi satu kedalam kata-kata yang berfariasi, tergantung pada bahasa dan focus komunikasi secara umum. Seperti Wundt mengatakan, pengetahuan dasar sebuah kalimat itu bukan seranngkaian kata-kata tapi bentuk pengetahuan.
          Saya tidaka akan dengan membebani kamu dengan lebih jauh lagi ringkasan dari model-model ilmu bahasa. tujuan saya adalah untuk mendemonstrasikan isu-isi psikoologi doperagakan oleh berbagai model, beberapa pengenalan teks ilmu bahasa akhir-akhir ini ( contohya Bolinger 1975, Fromkin dan Rodman 1978, dan seperti buku-buku yang belum dipublikasikan sebelumnya ) atau pengenalan mata pelajaran ilmu bahasa akan menunjukan kamu model-model yang lebih baru dan kesulitan mereka semua gambaran ilmu bahasa lebih dalam 20 tahun yang lalu – struktur sintaksisi yang dalam, bingkai kotak, struktur predikat- argument ilmu semantic yang bersifat umum, dan yang lainnya- semua ini adalah percobaan yang bersifat memihak dan untuk sementara untuk merencanakan bangun dari sikap lisan yang berpengetahuan mendasar. Tanpa menghiraukan bentuk bagaimana satu pilihan mewakili bentuk dasar. Ia lebih banyak, lebih detail dari bentuk awal, dan ini poin yang paling penting untuk diingat dari bab ini- karena presentasi model-model ilmu bahasa yang hampir kurang lengkap dan tidak dapat dimanfaatkan karena semua contoh model-model digantikan, dan ditinjau kembali pada sebuah nilai kemurahan hati yang cepat..

Belajar bahasa indonesia itu membosankan



BELAJAR BAHASA INDONESIA ITU MEMBOSANKAN!

Program studi FKIP Untirta

Abstrak
Bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang terdapat diseluruh jenjang pendidikan. Namun pertanyaannya adalah siswa seringkali bosan belajar bahasa Indonesia dengan dalil belajar bahasa Indonesia membuat ngantuk dan membosankan karena belajar bahasa Indonesia yang dipelajari materinya itu-itu saja dan beranggapan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang dipakai untuk komunikasi sehari-hari sehingga banyak orang yang menganggap sepele dengan pelajaran bahasa Indonesia. Padahal faktanya adalah banyak sekali orang bahkan guru sekalipun masih sangat kurang pengetahuannya tentang bahasa apalagi pemahaman tentang kosakata masih jauh dari standar. Akhir-akhir ini banyak sekali siswa yang tidak lulus ujian nasional bahasa Indonesia karena terlalu menganggap mudah pelajaran bahasa Indonesia. Oleh karena itu harus harus ada solusi dalam menyikapi masalah ini, salah satunya adalah guru harus mulai kreatif dalam menciptakan suasana menyenangkan supaya siswa tidak merasa bosan ketika belajar bahasa Indonesia. Antara lain dengan cara memadukan unsur permainan dalam pembelajaran. Namun permainan tersebut harus mengarah pada pembelajaran dan konsep materi yang akan diajarkan.
Kata Kunci : Pembelajaran, Bahasa Indonesia, Permainan, Membosankan.

Pengantar
            Kurikulum di Indonesia sudah berganti dari awal perkembangan tahun 1947 hingga kini kurikulum 2013. Seiring perkembangan kurikulum tersebut, selalu dihadirkan sesuatu yang baru dari materi pembelajaran, metode pembelajaran, pendekatan pembelajaran hingga cara belajarpun berubah, dari siswa diberitahu hingga kini mencari tahu. Namun, apakah dengan bergantinya kurikulum tersebut cara belajar di kelas juga berubah atau tetap masih seperti kurikulum-kurikulum sebelumnya. Sungguh miris, jika kita masih mendapati siswa yang masih tertidur saat jam belajar di kelas. Dizaman yang serba modern dan serba canggih sangat memalukan jika masih ada siswa keluar dari kelas dengan wajah lesu dan tidak bersemangat dalam mengikuti pelajaran di kelas.
            Setiap jam pelajaran dimulai siswa tidak antusias menyambut pelajaran namun siswa antusias untuk mencari posisi duduk di pojok samping ataupun di belakang bukan mencari posisi duduk di depan dengan dalil mencari posisi wenak untuk tidur. Jika siswa ditanya mengapa mereka demikian, mereka menjawab karena pembelajaran membosankan, guru tidak asyik. Jika ditanya pelajaran apa yang membosankan, banyak yang menjawab salah satunya adalah pelajaran bahasa Indonesia. Sesuatu yang memalukan jika diera global dan serba canggih siswa masih menjawab “belajar bahasa Indonesia membosankan”.
Pelajaran Bahasa Indonesia
Belajar bahasa adalah belajar untuk terampil berbahasa. Brown (2001: 7) memberikan definisi pembelajaran dalam beberapa hal, antara lain bahwa belajar bahasa adalah ‘retention of skill’, suatu pembelajaran keterampilan berbahasa. Sekolah adalah sebuah tempat bagi siswa untuk bereksplorasi akan kehausannya mempelajari hal-hal sekitar, seperti diungkap Coles (2000: 119).
Usia bahasa Indonesia sudah tidak lagi muda. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sudah mencapai usia 82 tahun, sedangkan sebagai bahasa resmi negara usianya mencapai 65 tahun. Dengan posisi atau kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara tersebut bahasa Indonesia menjadi bagian dari bangsa yang erat dan sangat fungsional.
Salah satu mata pelajaran wajib di semua jenjang sekolah adalah bahasa Indonesia. Sayangnya, pelajaran bahasa Indonesia menjadi pelajaran yang kurang disegani. Banyak siswa yang menyepelekan pelajaran bahasa Indonesia. Kondisi tersebut berdampak pada kurang optimalnya kemampuan dan keterampilan bahasa Indonesia para siswa. Akibat lebih jauh yang muncul adalah bahasa Indonesia menjadi kurang dihargai dan dicintai. Hal ini akan lebih tidak terkendali jika arus globalisasi kian mendesak dan budaya lain juga kian lekat pada para siswa.
Banyak pihak perlu berupaya mengatasi hal ini. Kepedulian terhadap bahasa Indonesia perlu dimunculkan. Rasa kecintaan pada bahasa Indonesia harus dipupuk dan dikembangkan. Oleh karena itu, perlu suatu usaha revitalisasi bahasa Indonesia dalam semua aspek. Hal ini akan memacu rasa kecintaan pada bahasa Indonesia. Salah satu yang dapat dilakukan dan akan berpengaruh sangat efektif adalah mengubah model mengajar guru. Solusi yang ditawarkan dari kegiatan ini adalah dengan memasukkan permainan bahasa dalam pembelajaran bahasa Indonesia untuk menghindarkan kejenuhan belajar siswa.
Permainan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Permainan merupakan suatu aktivitas untuk memperoleh suatu keterampilan tertentu dengan cara menggembirakan. Apabila ketermpilan yang diperoleh dalam permainan itu berupa keterampilan bahasa tertentu, permainan tersebut dinamakan permainan bahasa (Soeparno,1998:60). Belajar dengan bermain adalah kegiatan terpadu antara belajar dan bermain yang diintegrasikaan dalam sebuah materi pelajaran. Tindakan ini merupakan uapaya menciptakan kegiatan pembelajarn yang menyenangkan, dengan tujuan akhir mencapai pembelajaran yang sehat dan pemerolehan mutu yang optimal. Ada beberapa faktor penentu keberhasilan permainan bahasa. Menurut Soepamo (1998:62) ada empat faktor yang menentukan keberhasilan permainan bahasa di kelas, yaitu:
1.      Situasi dan kondisi, 
2.      Peraturan permainan,  
3.      Pemain
4.      Pemimpin permainan. 
Pembelajaran bahasa Indonesia dengan metode permaianan akan menjadi efektif, bermakna, dan tetap menyenangkan apabila dalam pelaksanaan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh beberapa pakar (Hadfield, 1999:8-10) sebagai berikut : 
1.      Permaianan yang dikembangkan hendaknya permainan yang terkait langsung dengan konteks keseharian peserta didik.
2.      Permainan diterapkan untuk merangsang daya pikir, mengakses informasi dan menciptakan makna-makna baru, 
3.      Permainan yang dikembangkan haruslah menyenangkan dan mengasyikan bagi peserta didik,
4.      Permainan dilaksanakan dengan landasan kebebasan menjalin kerja sama dengan peserta didik lain, 
5.      Permainan hendaknya menantang dan mengandung unsur kompetisi yang memungkinkan peserta didik semakin termotivasi menjalani proses tersebut,
6.      Penekanan permainan linguistik pada akuransi isinya, sedangkan permainan komunikatif lebih menekankan pada kelancaran dan suksesnya komunikasi, 
7.      Permainan dapat dipergunakan untuk semua tingkatan dan berbagai keterampilan berbahasa sekaligus. 



Simpulan
Cinta Bahasa Indonesia adalah sebagai wujud cinta Negara Indonesia, dizaman yang modern seperti sekarang ini jangan sampai siswa berkata belajar bahasa Indonesia itu membosankan. Salah satu solusi supaya siswa tidak bosan adalah memadukan pembelajaran dengan permainan yang mendidik. Jadi siswa tidak merasa jenuh ketika belajar bahasa Indonesia.

Daftar Bacaan :
Ari Kusmiatun, M.Hum., dkk.  (Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Negeri Yogyakarta). Dalam surat kabar harian kompas. Edisi 15 januari 2013
Brown, H.D. 2001. Teaching By Principles: An Active Approach To Language Pedagogi. San Francisco: Addison Wesley  Longman, Inc.
Hadfield. 1990. Intermediate Communication Games. New York: Longman
Source:http://soalmtsku.wordpress.com/icebreaking-permainan/

Fonologi Bahasa Indonesia



Abstract
The early stages of languuage acquisition is the acquiring phonological sounds. In acquiring these children are faced to language devation called phonological process. This mini-research conducted the investiagation of phonological process faced by a two -years-old child.


A.   Pendahuluan
1.    Latar belakang masalah
Pemerolehan bahasa anak adalah sesuatu yang dianggap menarik dan ditunggu oleh para orang tua dan lingkungan keluarga. Ketika anak sudah bisa mengeluarkan bunyi pertama kali adalah sesuatu anugrah yang membahagian kekawatiran para orang tua terhadap anak yang lambat dalam pemerolehan bahasa menjadikan orang tua lebih banyak melakukan rangsangan kepada anaknya. Oleh sebab itu, Proses pemerolehan dan penguasaan bahasa anak-anak merupakan satu perkara yang rencam dan cukup menakjubkan bagi para penyelidik dalam bidang psikoliguistik. Bagaimana manusia memperoleh bahasa merupakan satu isu yang amat mengagumkan dan sukar dibuktikan. berbagai teori dari bidang disiplin yang berbeda telah dikemukakan oleh para pengkaji untuk menerangkan bagaimana proses ini berlaku dalam kalangan anak-anak. Memang diakui bahwa disadari ataupun tidak, sistem-sistem linguistik dikuasai dengan pantas oleh individu kanak-kanak walaupun umumnya tiada pengajaran formal.
”Language is human”, maksudnya bahwa satu-satunya pemilik bahasa adalah manusia. Karena manusia lahir tidak langsung berbicara, maka pemelajaran dan pemerolehan bahasa adalah suatu hal yang mutlak. Kemampuan berbahasa seseorang diperoleh melalui sebuah proses sehingga perlu ada pendekatan-pendekatan tertentu di dalamnya.  Pendekatan ini pun diarahkan berdasarkan tujuan pencapaian tertentu seperti kemapuan fonologis, morfologis dan sintaksis yang dalam proses pemerolehannya, manusia melalui tahapan ini secara bertahap.
Tahapan pertama pada pemerolehan bahasa adalah tangisan dan bukan kata-kata, baru kemudian mereka mampu berbicara dengan lancar pada usia tiga sampai empat tahun, dan sebelumnya mereka pun melalui tahapan babbling sebelum mereka peroleh first word.
Tahapan-tahapan yang dilalui oleh setiap anak cenderung berbeda walaupun dapat dilakukan generalisasi. Hal ini diakibatkan oleh bahasa yang berbeda-beda. Suatu jenis bahasa akan mempengaruhi urutan pemerolehan setiap sistem bahasa dan dapat menentukan mana yang mudah dan yang sukar untuk diperoleh. Selain itu pemerolehan bahasa pun dipengaruhi oleh interaksi sosial dan perkembangan kognitif.
Pascoe (2005) menyatakan bahwa “Sekitar usia empat tahun ujaran anak yang keluar secara spontan memiliki tingkat kejelasan 100% untuk didengar oleh dengan orang dewasa yang tidak dekat (tidak kenal)."
Sampel kajian ini ialah seorang anak perempuan yang bernama khaerunida yang  bertutur dalam bahasa Indonesia. Bahasa tersebut merupakan bahasa ayah anak itu. Khaerunida tinggal bersama-sama dengan keluarga ayah ibunya sendiri, khaerunida tersebut dilahirkan pada tanggal  29 juli 2013. Pendekatan interaksi digunakan dalam kajian ini memandangkan subjek kajian yang dipilih selalu berpeluang berinteraksi dengan anggota keluarganya. Bentuk interaksi observasi ini terdiri daripada interaksi yang tidak dirancang. Sebagai langkah untuk menjamin data kajian yang lebih autentik, latar yang tidak dirancang digunakan. Analisis pertuturan nida dilakukan dalam berbagai situasi dan keadaan dalam lingkungan keluarganya sendiri. Pengalaman nida juga digunakan dan dianggap sebagai alat kajian ini. Transkripsi pertuturan subjek kajian ini dibuat dalam bentuk dan sistem ejaan fonemik.Atas dasar uraian diatas penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pemerolehan  bunyi fonologis  yang dialami oleh khaerunida yang  berusia 2 tahun dalam perolehan bunyi bunyi bahasa Indonesia.

2.    Rumusan masalah
Berdasarkan subjek kajian penelitian dapat dirumuskan pertanyaan sebagai berikut:
1.    Apa sajakah pemerolehan bunyi fonologis yang dikuasai oleh khaerunida?
2.    Bagaimana rangsangan yang dilakukan oleh orang tua dan anggota keluarga lainnya terhadap pemerolehan bunyi fonologis khaerunida?

3.    Tujuan masalah
Penulisan ini berusaha untuk mendapatkan gambaran mengenai: (1) panjang ayat yang digunakan anak usia dua tahun dalam bertutur (2) penguasaan bunyi fonologis yang digunakan anak usia dua tahun dalam bertutur.

B.   Kajian Teori dan Metodologi Penelitian
Tahapan Pemerolehan Bahasa
Seperti diungkapkan sebelumnya bahwa perkembangan pemerolehan bahasa akan selalu melalui tahapan-tahapan, begitu pula pemerolehan bunyi. Pada proses pemerolehan bunyi  kemampuan anak bergerak dari membuat bunyi menuju pada menuju ke arah membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan atas dua bunyi dapat dikenali selama tahun pertama yaitu (1) periode vokalisasi dan prameraban serta (2) periode meraban. Anak lazimnya membuat pembedaan bunyi perseptual yang penting selama periode ini, misalnya membedakan antara bunyi suara insani dan noninsani antara bunyi yang berekspresi marah dengan yang bersikap bersahabat, antara suara anak-anak dengan orang dewasa, dan antara intonasi yang beragam. Anak-anak mengenali makna-makna berdasarkan persepsi mereka sendiri terhadap bunyi kata-kata yang didengarnya. Anak-anak menukar atau mengganti ucapan mereka sendiri dari waktu ke waktu menuju ucapan orang dewasa, dan apabila anak-anak mulai menghasilkan segmen bunyi tertentu, hal itu menjadi perbendaharaan mereka.
Labov &labov dalam Clark, E. (2003) membagi tahapan pemerolehan bunyi fonologis menjadi tiga periode yaitu periode dimana anak (Jessie – sampel penelitiannya) beroleh kemampuan mengucapkan vokal dan konsonan pada kata mama, hi, cat pada usia 1,3 dan 1,8 tahun. Periode berikutnya ditandai dengan kemampuan menghasilkan bunyi bilabial dan alveolar. Periode ketiga pada usia 4,9 – 5,6 anak dapat menguasai seluruh bunyi bahasa native-nya.
Dardjowidjojo (2005) menyatakan bahwa baik anak barat maupun Echa (sampel penelitiannya tahun 2000) melalui tahapan yang universal. Dia menjelaskan bahwa Echa mula-mula mengucapkan bunyi vokal saja (cooing) dan dikikuti dengan kemampuan  menggabungkan bunyi vokal dengan bunyi konsonan bilabial, seperti penggabungan /a/ dengan /m/, /p/ /b/. Meskipun pemerolehan bunyi ini bersifat universal namun tidak serta merta setiap anak dalam dapat menguasai bunyi bunyi tersebut pada usia tertentu.
Sistem dan struktur kata sebuah bahasa menentukan waktu pemerolehan bunyi dan kata pada bahasa tertentu. Anak-anak penutur bahasa Inggris dapat mengucapkan kata pada usia satu tahun tetapi anak Indonesia mulai mengucapkan kata pada usia yang lebih tua hal ini disebabkan oleh karena kata-kata dalam bahasa Inggris bersifat monosilbik sementara kata-kata dalam bahasa Indonesia bersifat polisilabik.

Teori Behaviorirme
Teori behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response ). Perilaku bahasa yang efektif adalah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan jika reaksi tersebut dibenarkan. Dengan demikian, anak belajar bahasa pertamanya.
B.F. Skinner adalah tokoh aliran behaviorisme. Menurut Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila suatu usaha menyenangkan, perilaku itu terus akan dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak menguntungkan, perilaku itu akan ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada reinforcement   yang cocok, perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar.
Menurut Brown (Pateda, 1990: 43) pendekatan behavioristik atau kaum impiris yang dipelopori oleh Skinner, anak yang baru lahir ke dunia ini dianggap kosong dari bahasa atau kosong dari struktur linguistik yang dibawanya. Anak tersebut ibarat tabularasa atau kertas putih yang belum ditulisi, lingkungannyalah yang akan memberi corak dan warna pada kertas itu. Namun, pemerolehan seperti ini memerlukan penguatan (reinforcment)

Pemerolehan Dalam Bidang Fonologi
Pada waktu dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20% dari otak dewasanya. Ini berbeda dengan binatang yang sudah memiliki sekitar 70%. Karena  perbedaan inilah maka binatang sudah dapat melakukan banyak hal segera sesudah lahir, sedangkan manusia hanya bisa menangis dan menggerak-gerakkan badannya. Proposi yang ditakdirkan kecil pada manusia ini mungkin memang “dirancang” agar pertumbuhan otaknya proposional pula dengan pertumbuhan badannya.
Pada umur sekitar 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan atau vokal.Bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena memang terdengar dengan jelas. Proses bunyi-bunyi seperti ini dinamakan cooing, yang telah diterjemahkan menjadi dekutan (Dardjowidjojo 2000: 63). Anak mendekutkan bermacam-macam bunyi yang belum jelas identitasnya.
Pada sekitar umur 6 bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan vokal sehingga membentuk apa yang dalam bahasa Inggris dinamakan babbling, yang telah diterjemahkan menjadi celotehan (Darmowidjojo: 2000: 63). Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti diikuti oleh sebuah vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. dengan demikian, strukturnya adalah CV. Ciri lain dari celotehan adalah bahwa CV ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur seperti berikut:   C1 V1 C! V! C1 V!……papapa  mamama  bababa…..
Orang tua kemudian mengaitkan “kata” papa dengan ayah mama dengan ibu meskipun apa yang ada dibenak anak tidaklah kita ketahui; tidak mustahil celotehan itu hanyalah sekedar latihan artikulori belaka. Konsonan dan vokalnya secara gradual berubah sehingga muncullah kata-kata seperti dadi, dida, tita, dita,mama, mami, dan sebagainya.
Metodologi penelitian
Analisis fonologis secara kualitatif dilakukan pada nida, seorang anak berusia 2 tahun. Peneliti mengobservasi kata-kata yang diucapkan oleh nida mulai dari tanggal 13 iuli sampai 24 juli 2014, dan melakukan rangsangan tertentu karena teori yang digunakan dalah teori behaviorisme, berupa rangsangan-respons dengan tokoh BF.Skiner. Nida dilahirkan  di keluarga berbahasa jawa serang namun ayah dan lingkungan sekitarnya selalu berbicara dengan nida menggunakan bahasa Indonesia

C.   Analisis data
Data yang berhasil dihimpun pada penelitian ini dapat dilihat pada      tabel berikut:
    
Kata
Pengucapan (seharusnya)
Pengucapan
( sebelum diberi rangsangan )
Pengucapan 
( setelah diberi rangsangan )
baju
/baju/
/dadu/
/baju/
Baru
/baru/
/bayu/
/bayu/
Bukan
/bukan/
/butan/
/bukan/
Pulang
/pulang/
/puyang/
/pulang/
panas
/panas/
/tanas/
/panas/
pakai
/pakai/
/takai/
/pakai/
Lagi
/lagi/
/dagi/
/lagi/
Kereta
/kereta/
/tata/
/tata/
Dimana
/dimana/
/dinana/
/dimana/
Jagung
/jagung/
/dagung/
/jagung/
Jalan
/jalan/
/dayan/
/jalan/
Juga
/juga/
/duga/
/juga/
Gitu (Begitu)
/gitu/
/ditu/
/gitu/
Gelas
/gelas/
/geyas/
/geyas/
Kapan
/kapan/
/tapan/
/kapan/
Kado
/kado/
/tado/
/kado/
Masih
/masih/
/nasi/
/nasi/
Mana
/mana/
/nana/
/mana/
Sama
/sama/
/mama/
/sama/
Hijau
/hijau/
/ijo/
/ijo/
Hitam
/hitam/
/tatam/
/itam/
Makasih
/makasih/
/maacih/
/maasih/
Sakit
/sakit/
/takit/
/sakit/
Tidak
/tidak/
/nda/
/nda/
Nakal
nakal/
/kakal/
/nakal/
Gak mau
/gak mau/
/mamau/
/nda mau/


Untuk mencari jawaban dari pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya maka peneliti melakukan analisis proses fonologis/ fonological deviation dan berdasarkan data di atas, peneliti dapat mengidentifikasi penyimpangan fonologis, diantaranya;
a.    Perubahan fonem /b/ menjadi /d/
b.    Perubahan fonem /g/ menjadi /d/
c.    Perubahan fonem /j/ menjadi /d/
d.    Perubahan fonem /l/ menjadi /y/
e.    Perubahan fonem /k/ menjadi /t/
f.     Perubahan fonem /m/ menjadi /n/
g.    Perubahan fonem /s/ menjadi /t/
h.    Perubahan fonem /p/ menjadi /t/
i.      Perubahan fonem /ñ/ menjadi /n/
j.      Penghilangan (deletion) fonem awal yaitu fonem /h/ pada kata /hitam/ menjadi /itam/ dan kata /hijau/ menjadi /ijo/
k.    Pelesapan deret vokal /au/ menjadi /o/

Dari hasil identifikasi tersebut dan teori mengenai proses fonologis menurut grunwell, p. (1997)  maka telah terjadi, velar fronting, palatal fronting, opening bilabial, stopping fricative, consonan harmony, selain itu juga terjadi pula glotal deletion yang tidak terdapat pada teori yang dikemukakan oleh grunwell.
Velar  fronting mengandung makna terjadinya perubahan bunyi yang diakibatkan dengan  posisi velar yang bergerak maju dan ujung lidah menyentuh tempat artikulasi di bagian depan sehingga memunculkan perubahan bunyi menjadi alveolar.
Palatal  fronting mengakibatkan perubahan bunyi menjadi alveo-palatal seperti bunyi /ñ/ menjadi /n/. Hal ini disebabkan oleh ketidaksesuaian ujung lidah menyentuh tempat artikulasi bagi bunyi palatal. Ujung lidah ini berada pada posisi alveolar.
Opening bilabial terjadi ketika bunyi /b/ yang memiliki maner stop (letup) dengan posisi bibir tertutup diucapkan, nida melakukannya dengan posisi bibir terbuka  sehingga menghasilkan bunyi alveolar.
Stopping fricative terjadi ketika nida mengucapkan bunyi /s/ dan menghasilkan bunyi /t/. Aliran udara yang seharusnya mengalir saat bunyi ini diproduksi terhambat dengan proses stopping sehingga terjadi letup dimana ujung lidah maju dan menyentuh titik artikulasi yang lebih depan yaitu gum.     
Perubahan menjadi bunyi /d/ pun terjadi lagi ketika bunyi lateral diucapkan. Saya menyebutnya sebagai stopping lateral yaitu terhambatnya aliran udara pada posisi lateral sehingga aliran udara berhenti.
Consonan harmony pun terjadi pada proses fonologis yaitu perubahan bunyi yang mirip. Ini terjadi ketika Arief mengucapkan bunyi nasal /m/ dan menghasilkan bunyi nasal /n/. Selain itu juga terjadi penghilangan bunyi glotal yang berada pada posisi awal kata dan pelesapan deret vokal /au/ menjadi /o.

Pembahasan
Proses fonologis yang dialami oleh nida menunjukan adanya kesesuaian dengan pemerolehan bunyi fonologis tipikal yang dialami oleh anak lain pada umumnya. Pemerolehan bunyi biasanya diawali dengan bunyi-bunyi yang berada pada tepat dan cara artikulasi bagian depan. Jika seorang anak dapat mengucapkan /r/ maka sudah dipastikan dia sudah menguasai bunyi hambat, frikatif dan afrikatif. (Dardjowidjojo, S., 2005).
Dari hasil analisis nida banyak mengalami proses fonologis yang mengakibatkan munculnya bunyi /d/. Bunyi /g/ dan /j/ berada pada posisi palatal dan velar, dengan demikian perubahan ini wajar. Namun perlu diketahui bahwa perubahan ini terjadi ketika bunyi kedua fonem ini berada pada posisi awal sebuah kata. Dari data yang ada dapat dibuktikan bahwa nida dapat mengucapkan bunyi /j/ pada kata ’hijau’ dengan mengucapkan /ijo/ dan dia juga dapat mengucapkan bunyi /g/ pada kata jagung.
Keanehan yang terjadi adalah ketika bunyi bilabial /b/ yang menempati titik artikulasi terdepan berubah atau mengalami penyimpangan menjadi bunyi /d/. Dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya, bunyi bilabial merupakan first sound yang diperoleh  oleh kebanyakan anak, mereka beroleh kemampuan ini pada saat melalui proses babbling. Namun nida juga melakukan kesalahan ini jika bunyi /b/ berada pada awal kata, jika ini terjadi di tengah maka dia mampu mengucapkannya dengan benar seperti pada kata ”mobil”.
Selain penyimpangan yang memunculkan bunyi /d/, nida juga memunculkan bunyi /t/ dan /n/ yang terjadi akibat adanya stopping fricative, velar dan palatal fronting. Pada proses fonologis ini dia dapat dikatagorikan mengalami keterlambatan penguasaan beberapa bunyi fonologis sebab berdasarkan teori yang dikemukakan oleh C, Bowen.(1998) seharusnya proses fronting sudah dilewati dan hilang pada usia 3,6 tahun. Namun data menunjukan adanya kemampuan mengucapkan bunyi /p/ dengan jelas dan tidak menyimpang atau berubah menjadi bunyi alveolar /d/ pada kata ”kapan” dimana posisi bunyi ini berada di tengah.
Dari pembahasan dan analisis di atas nida mampu mengucapkan kata-kata, walaupun sepenuhnya belum benar. Dilihat dari usia nida yang baru 2 tahun. Karena seperti yang dikemukakan oleh brown, usia 3,6 tahun boleh dikatakan anak sudah bisa melewati proses fronting. Penguasaan bunyi-bunyi fonologis ini juga dikarenakan faktor rangsangan oleh orang tua dan anggota keluarga. Orang tua nida selalu memberikan stimulus atau rangsangan kepada nida berupa benda-benda yang ditunjukan kepada nida dan mengucapkan nama benda tersebut, kemudian setiap nida melakukan kegiatan orang tua nida selalu memberitahukan kepada nida apa yang sedang dilakukan oleh nida dan orang tuanya. Sehingga nida lebih cepat menguasai kosa kata dan bunyi-bunyi fonologis.dan jika nida salah dalam hal pengujaran orang tua nida selalu membenarkan ujaran tersebut sehingga terjadi pembiasaan dalam hal pengujaran pada nida.

D.   Simpulan  
Berdasarkan analisis dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Nida yang berusia 2 tahun sudah mampu menguasai bunyi-bunyi fonologis walaupun belum secara keseluruhan sempurna, hal ini ditunjang karena adanya faktor stimulus atau rangsang dari pihak keluarga. kemudian Kebenaran dari teori behaviorisme yang mengemukakan bahwa anak akan memperoleh bahasa jika adanya stimulus dan respon.
Orang tua nida selalu memberikan stimulus atau rangsangan kepada nida berupa benda-benda yang ditunjukan kepada nida dan mengucapkan nama benda tersebut, kemudian setiap nida melakukan kegiatan orang tua nida selalu memberitahukan kepada nida apa yang sedang dilakukan oleh nida dan orang tuanya. Sehingga nida lebih cepat menguasai kosa kata dan bunyi-bunyi fonologis.dan jika nida salah dalam hal pengujaran orang tua nida selalu membenarkan ujaran tersebut sehingga terjadi pembiasaan dalam hal pengujaran pada nida.


Daftar pustaka

Bowen, C. (1998). Developmental phonological disorders. A practical guide for families and teachers. Melbourne: ACER Press.

Dardjowidjojo, S. (2005). Psikolinguistik: pengantar pemahaman bahasa manusia. Jakarta: Yayasan obor Indonesia.    

Darjowidjojo, S. (2000). Kisah pemerolehan bahasa anak indonesia. Jakarta : gramedia

R.,odien & suherlan.( 2004). Ihwal ilmu bahasa dan cakupannya
( pengantar memahami linguistik ). Serang : untirta press