KAJIAN PUISI INDONESIA
Analisis Puisi “Stasiun Tak Bernama” karya Dorothea Rosa Herliany
dengan menggunakan Pendekan
Struktural
Dosen Pembimbing:
Lela Nurfarida M.Pd
Disusun Oleh:
Ari Sulistiari (2222112335)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
DIKSATRASIA 2014
Analisis
Puisi Berdasarkan Pendekatan Struktural
Struktur merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu
bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur
itu. Berikut ini ada beberapa pendapat para ahli mengenai pendekatan struktural,
yaitu suatu metode atau cara pencarian terhadap suatu fakta yang sasarannya
tidak hanya ditujukan kepada salah satu unsur sebagai individu yang berdiri
sendiri di luar kesatuannya, melainkan ditujukan pula kepada hubungan antar
unsurnya. Analisis struktural merupakan tugas prioritas atau tugas pendahuluan.
Sebab karya sastra mempunyai kebulatan makna intrinsik yang dapat digali dari
karya itu sendiri (A. Teew. 1984 : 135).
Pendekatan
Struktural yang dipergunakan, akan menghasilkan gambaran yang jelas terhadap
diksi, citraan, bahasa khias, majas, sarana retorika, bait dan baris, nilai
bunyi, persajakan, narasi, emosi, dan ide yang digunakan pengarang dalam
menulis puisinya.
Di
bawah ini akan disajikan sebuah puisi yang dianalisis berdasarkan pendekatan
struktural.
Stasiun Tak Bernama
akhirnya kita akan bertemu di garis yang sama.
di lengkung langit hitam dan bukitan berkabut.
di tanahtanah bergelombang, dan gurun yang
berhutankan epitafepitaf. engkau ukur
seberapa jauh yang sudah kita tempuh dengan doa
dan dosa, seperti keledai yang kecapaian, merangkak
dalam dengus dan mata terkatupkatup.
tubuh yang payah ini meneteskan keringat dan darah.
membasuh wajah letihmu. seperti matahari, mengucak
cahayanya dari mega yang usil!
kesabaran kita membeku di pintu peron. relrel
memanjang dan dingin. seperti itulah waktu yang
mengurungmu dalam lantunan lagu-lagu sumbang.
tembang perkutut dan desis ular-ular melata di hatimu.
mengelupas sisik-sisik dan bisa yang mengerak
di dinding-dinding hati. waktu dan ruang yang
berdesakan dalam menunggu. baris-baris gerimis
di kaca dan suram cahaya menembus kesunyian
yang kita dekap.
di atas rel yang hitam itu keranda-keranda diusung
ke rumah-rumah yang tak kita tuju. kubayangkan para
gembala menggiring domba-domba hitam,
pulang senja.
mereka mengurai syair-syair kesedihan dan lagulagu
kehilangan. pulang, entah ke mana.
dan di sini kita mengukur waktu, sebelum
lokomotif itu menyeretmu. gerbong-gerbong
berderit dalam ngilu. lalu
mendadak kita tergagap: tiba-tiba menemu jalan buntu.
kita sampai pada dinding waktu
yang tak bosan menunggu.
( Dorothea Rosa Herliany 1993 )
akhirnya kita akan bertemu di garis yang sama.
di lengkung langit hitam dan bukitan berkabut.
di tanahtanah bergelombang, dan gurun yang
berhutankan epitafepitaf. engkau ukur
seberapa jauh yang sudah kita tempuh dengan doa
dan dosa, seperti keledai yang kecapaian, merangkak
dalam dengus dan mata terkatupkatup.
tubuh yang payah ini meneteskan keringat dan darah.
membasuh wajah letihmu. seperti matahari, mengucak
cahayanya dari mega yang usil!
kesabaran kita membeku di pintu peron. relrel
memanjang dan dingin. seperti itulah waktu yang
mengurungmu dalam lantunan lagu-lagu sumbang.
tembang perkutut dan desis ular-ular melata di hatimu.
mengelupas sisik-sisik dan bisa yang mengerak
di dinding-dinding hati. waktu dan ruang yang
berdesakan dalam menunggu. baris-baris gerimis
di kaca dan suram cahaya menembus kesunyian
yang kita dekap.
di atas rel yang hitam itu keranda-keranda diusung
ke rumah-rumah yang tak kita tuju. kubayangkan para
gembala menggiring domba-domba hitam,
pulang senja.
mereka mengurai syair-syair kesedihan dan lagulagu
kehilangan. pulang, entah ke mana.
dan di sini kita mengukur waktu, sebelum
lokomotif itu menyeretmu. gerbong-gerbong
berderit dalam ngilu. lalu
mendadak kita tergagap: tiba-tiba menemu jalan buntu.
kita sampai pada dinding waktu
yang tak bosan menunggu.
( Dorothea Rosa Herliany 1993 )
1. Analisis
berdasarkan unsur Internal ( Struktur Batin )
a.
Diksi
(Pilihan Kata)
Diksi
merupakan pemilihan kata yang tepat, padat, dan kaya akan nuansa makna dan
suasana sehingga mampu mengembangkan dan mempengaruhi daya imajinasi pembaca.
Dalam puisi
“STASIUN TAK BERNAMA” pengarang (penyair) mencoba menyeleksi kata-kata yang
dipakainya, sehingga kata-kata tersebut benar-benar mendukung maksud puisinya.
Kata-kata tersebut ada yang bermakna konotatif dan ada yang bermakna denotatif
sehingga penafsiran antara pembaca satu dengan yang lain berbeda.
Seperti pada:
Bait I
akhirnya kita akan
bertemu di garis yang sama.
di lengkung langit
hitam dan bukitan berkabut.
di tanah-tanah
bergelombang, dan gurun yang
berhutankan
epitafepitaf. engkau ukur
seberapa jauh yang
sudah kita tempuh dengan doa
dan dosa, seperti
keledai yang kecapaian, merangkak
dalam dengus dan mata
terkatup-katup.
tubuh yang payah ini
meneteskan keringat dan darah.
membasuh wajah
letihmu. seperti matahari, mengucak
cahayanya dari mega
yang usil!
Dalam
memahami kata-kata di atas, pembaca perlu menanfsikannya, sehingga pembaca
dapat mengetahui makna yang terkandung dalam puisi tersebut. Selain itu,
pengarang kata-kata yang bermakna kiasan seperti pada baris ke 2, ke 3 dan ke 4.
Bait
II
kesabaran kita membeku
di pintu peron. relrel
memanjang dan dingin.
seperti itulah waktu yang
mengurungmu dalam
lantunan lagu-lagu sumbang.
tembang perkutut dan
desis ular-ular melata di hatimu.
mengelupas sisik-sisik
dan bisa yang mengerak
di dinding-dinding
hati. waktu dan ruang yang
berdesakan dalam
menunggu. baris-baris gerimis
di kaca dan suram
cahaya menembus kesunyian
yang kita dekap.
Bait III
di atas rel yang hitam
itu keranda-keranda diusung
ke rumah-rumah yang
tak kita tuju. kubayangkan para
gembala menggiring
domba-domba hitam,
pulang senja.
mereka mengurai
syair-syair kesedihan dan lagu-lagu
kehilangan. pulang,
entah ke mana.
Bait IV
dan di sini kita
mengukur waktu, sebelum
lokomotif itu
menyeretmu. gerbong-gerbong
berderit dalam ngilu.
lalu
mendadak kita
tergagap: tibatiba menemu jalan buntu.
kita sampai pada
dinding waktu
yang tak bosan
menunggu.
Kata-kata
yang digunakan dalam kalimat puisi di atas menggunakan kata-kata yang
mengandung unsur kiasan, ini bisa dilihat jelas pada kata “ kesabaran kita membeku
di pintu peron dan di atas rel yang hitam itu keranda-keranda diusung
ke rumah-rumah yang
tak kita tuju”.
b.
Imageri (citraan, daya bayang)
Pengimajian adalah kata atau susunan kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman sensoris seperti penglihatan, pendengaran dan
perasaan. Pada puisi “STASIUN TAK BERNAMA” pengimajian yang digunakan oleh
pengarang terdapat pada
1) Citraan Penglihatan
I : tubuh yang payah ini meneteskan keringat dan darah
:
membasuh wajah letihmu....
II : ... rel-rel memanjang...
:
... cahaya menembus kesunyian...
: baris-baris gerimis di kaca
III :
di atas rel yang hitam itu...
IV :
gerbong-gerbong berderit dalam ngilu
2) Citraan Pendengaran
I : merangkak dalam dengus...
II :
lagu-lagu sumbang
:
tembang perkutut dan desis ular-ular melata
III : mereka mengurai syair-syair kesedihan dan
lagu-lagu kehilangan.
IV : gerbong-gerbong berderit dalam ngilu
3)
Citraan Gerak
II :
waktu dan ruang yang berdesakan dalam menunggu
IV : kita
mengukur waktu
:
dinding waktu yang tak bosan menunggu
4)
Citraan Kesedihan
II :
kesabaran kita membeku di pintu peron
III :
mereka mengurai syair-syair kesedihan
c. Kata-Kata Konkret
Kata konkret adalah
kata-kata yang dapat menyarankan kepada arti yang menyeluruh. Kata-kata
konkret yang jika dilihat secara denotatif sama, tetapi secara konotatif
mempunyai arti yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pemakaiannya.
Pengonkretan kata berhubungan erat dengan pengimajinasian, pengembangan
dan pengiasan. Pada puisi “STASIUN TAK BERNAMA” kata-kata konkret terdapat pada
bait:
I : akhirnya kita akan bertemu di garis
yang sama. di lengkung langit hitam dan bukitan berkabut. di tanah-tanah
bergelombang, dan gurun yang berhutankan epitafepitaf.
v
Disini penyair
menggambarkan bahwa pada akhirnya kita berdua pasti akan bertemu juga di satu
jalan yang sama atau dalam sebuah dunia yang sama di saat matahari fajar akan
mulai menyebarkan kehangatannya, di sebuah tanah yang bergelombang ( Sebuah
tempat pemakaman) dan sebuah tempat pemakaman yang dimana-mana bertuliskan
nama-nama dalam sebuah batu nisan (epitaf).
II :
seperti itulah waktu yang mengurungmu dalam lantunan lagu-lagu sumbang
: baris-baris gerimis di kaca dan suram cahaya
menembus kesunyian yang kita dekap.
v
Dalam bait kedua pada
baris kedua dan ketiga ini penyair menghiaskan nyanyian kematian diatas sebuah
makam, dan diiringi rintik-rintik hujan yang menyeruak bersama setitik cahaya
dari balik langit mendung yang menyelimuti.
d. Bahasa Figuratif (figurative
language)
Bahasa figuratif adalah
cara yang digunakan oleh penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imajinasi
dengan menggunakan gaya bahasa, perbandingan, kiasan, pelambangan, dan
sebagainya. Bahasa figuratif yang digunakan dalam puisi “STASIUN TAK BERNAMA”
adalah sebagai berikut:
1) Personifikasi adalah kiasan yang memersamakan benda
dengan manusia, di mana benda mati dapat berbuat seperti manusia. Hal ini
terdapat pada:
I :
keringat dan darah. membasuh wajah letihmu. seperti matahari, mengucak
cahayanya dari mega yang usil!
II :
seperti itulah waktu yang mengurungmu dalam lantunan lagu-lagu sumbang
2) Perumpamaan epos adalah perbandingan yang dilanjutkan
atau diperpanjang yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat
pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat atau frase berturut-turut.
“ mendadak kita tergagap: tibatiba menemu jalan buntu”
“mereka mengurai syair-syair
kesedihan dan lagu-lagu kehilangan. pulang, entah ke mana”
e. Verifikasi (rima,
ritme dan metrum)
a) Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi.
Pada puisi
“ Stasiun Tak Bernama “ di atas ada Rima atau pengulangan bunyi terdapat pada
bait ke- IV baris ke- 3, 4, 5 dan 6 yaitu pengulangan bunyi “U”. Selain itu tidak ada Rima dalam bait-bait
yang lainnya.
b) Ritme adalah pengulngan bunyi, kata, dan
kalimat.
Dalam puisi
ini terdapat pengulangan kata “Waktu”
yang terdapat pada bait Ke-2 baris ke-2 dan ke-6, serta bait ke-4 baris
ke-1 dan ke-5. Selebihnya tidak ada lagi pengulangan kata maupun kalimat yang
terdapat dalam puisi Sasiun Tak Bernama ini.
c) Metrum adalah pengulangan tekanan kata yang
tetap/irama yang tetap menurut pola tertentu.
Pada puisi di atas,
antar bait I, II, III, dan IV terdapat pengulangan tekanan kata/irama yang
tetap.
2.
Analisis
Berdasarkan Struktur Batin
a. Tema merupakan gagasan pokok yang di kemukakan oleh
penyair.
Pada puisi di atas, penyair
menggunakan tema “Kesunyian Hati” karena terdapat beberapa bait dari sang
penyair yang menggambarkan kesedihan.
b. Perasaan (feeling) adalah suasana
hati sang penyair yang diekspresikan lewat sebuah syair dan harus dihayati oleh
pembaca.
Dalam puisi di atas, penyair merasa
hatinya sedang sunyi. Penantiannya selama ini terhadap seseorang akhirnya
berakhir di sebuah pemakaman.
c. Nada dan Suasana
Nada adalah sikap penyair terhadap
suasana. Di sini penyair bersikap lembut, hingga menyayat hati pembaca.
Sedangkan Suasana adalah keadaan jiwa pembaca saat dan setelah membaca puisi.
Pembaca terbawa oleh imajinasi sang penyair hingga ke dalam dan ikut merasakan
kesedihan.
d. Amanat (pesan) merupakan hal yang mendorong penyair
untuk menciptkan puisinya.
Pada puisi di atas, amanat yang
terkandung adalah dalam keadaan apapun kita jangan pernah sembunyi dari
kenyataan yang terjadi pada diri kita.
SIMPULAN
Pendekatan struktural yaitu suatu metode atau cara
pencarian terhadap suatu fakta yang sasarannya tidak hanya ditujukan pada salah
satu unsur sebagai individu yang berdiri sendiri di luar kesatuannya, melainkan
di tujukan pula kepada hubungan antara unsurnya.
Pendekatan struktural yang
dipergunakan akan menghasilkan gambaran yang jelas terhadap diksi,
pengimajinasian, kata konkret, bahas figuratif, berifikasi dan tata wajah.
Analisis struktural merupakan tugas prioritas atau tugas pendahuluan sebab
karya sastra mempunyai kebulatan makna “intrinsik yang dapat digali dari karya
itu sendiri.
DAFTAR ISI
Pradopo,
Rachmat Djoko.2009. Pengkajian Puisi.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Herwan
Fr.2005. Apresiasi dan Kajian Puisi. Serang:
Gerage Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar