Jumat, 22 Mei 2015

Analisis Karakteristik Teori Postmodernisme dalam Kumpulan cerpen Mereka Bilang Saya Monyet karya Djenar Maeesa Ayu



BAB  I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Kritik sastra merupakan sebuah upaya untuk menjelaskan makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Sastra merupakan dunia imajiner yang sudah barang pasti menghasilkan makna multitafsir pada setiap bentuknya. Tidak terkecuali dengan cerpen, cerpen merupakan sebuah karya sastra yang berupa narasi atau cerita. Cerpen dapat berbentuk cerita fiksi atau rekaan dan non fiksi atau yang sesuai dengan kenyataan.
            Untuk memahami sebuah bentuk cerpen tentu tidak mudah. Kita harus memahami dahulu karakteristik penulis cerpen tersebut agar bisa mengetahui jiwa dari cerpen yang dibuatnya. Setiap penulis tentu memiliki karakteristik yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Mereka mempunyai gaya tersendiri dalam menyampaikan pikiran melalui bentuk tulisan. Ada yang cara menyampaikannya secara sindiran, dan adapula yang menyampaikannya secara terang-terangan. Hal ini tentu sah-sah saja didalam sebuah bentuk karya sastra. Karena bagaimanapun juga sastra adalah dunia imajiner yang hasil karyanya sesuai dengan hati dan kreatifitas penulisnya.

Postmodernisme Dalam Pandangan Jean Francois Lyotarda
            Jean-Francois Lyotard, dalam bukunya The Postmodern Condition: A report on Knowledge (1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis secara lengkap mengenai postmodernisme sebagai fenomena budaya yang lebih luas. Lyotard memandang postmodernisme muncul sebelum dan setelah modernisme, dan merupakan sisi yang berlawanan dengan modernisme. Halini diperkuat oleh pendapat Flaskas yang mengatakan bahwa postmodernisme adalah oposisi dari premis modernisme. Beberapa diantaranya adalah gerakan perpindahan dari fondasionalisme menuju anti-fondasionalisme, dari teori besar (grand theory) menuju teori spesifik, dari sesuatu yang universal menuju kesesuatu yang sebagian dan lokal, dari kebenaran yang tunggal menuju ke kebenaran yang beragam. Semua gerakan tersebut adalah mencerminkan tantangan postmodernist kepada modernist.
            Pemahaman pemikiran postmodernis menjadi penting untuk memahami berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya yang tidak lagi memadai untuk dianalisis hanya berdasarkan paradigma ilmiah modern yang lebih menekankan kesatuan, homogenitas, objektivitas, dan universalitas. Sementara ilmu pengetahuan dalam pandangan postmodernis lebih menekankan pada pluralitas, perbedaan, heterogenitas, budaya lokal/etnis,dan pengalaman hidup sehari-hari.
            Menurut Jean Francois Lyotard, bahwa awalan post pada postmodern, merupakan elaborasi keyakinan modern, sebagai upaya untuk memutuskan hubungan dengan tradisi modern dengan cara memunculkan cara - cara kehidupan dan pemikiran yang baru sama sekali. Pemutusan dengan masalalu (jaman modern) merupakan jalan untuk melupakan dan merepresi masa lalu. Dalam pandangan modernisme, ilmu pengetahuan berkembang sebagai pemenuhan keinginan untuk keluar dari mitos-mitos yang digunakan masyarakat primitif menjelaskan fenomena alam, dan modernitas adalah proyek intelektual yang mencari kesatuan berdasarkan fondasi sebagai jalan menuju kemajuan.
            Bagi postmodernisme ide rasionalitas dan humanisme merupakan konstruksi historis, konstruksi sosial budaya dan bukan sesuatu yang bersifat alami (kodrat) dan universal. Sehingga kedua hal tersebut tidak dapat diseragamkan tanpa mempertimbangkan kondisi sosial-historis serta budaya lokal. Keanekaragaman pemikiran menurut Lyotard hanya dapat dicapai dengan melakukan penolakan terhadap kesatuan (unity), dengan mencari disensus (ketidak sepakatan) secara radikal. Jean Francois Lyotard merupakan pemikir postmodern yang penting karena memberikan pendasaran filosofis pada gerakan postmodern. Penolakannya terhadap konsep narasi agung (grand native) serta pemikirannya yang mengemukakan konsep perbedaan dan language game sebagai alternatif terhadap kesatuan (unity). Lyotard memandang bahwa, didalam bahasa tidak ada keutuhan, yang ada hanyalah pulau-pulau bahasa, yang masing-masing diatur oleh sebuah sistem yang tidak bisa diterjemahkan kedalam sistem  yang lain. Pengejawantahan postmo  adalah formlessness, ambiguitas, ketidak pastian, ironi, oposisionalitas,  dan relatives.
            Dalam analisis ini saya akan coba menemukan beberapa karakteristik Postmodernisme yang terdapat dalam kumpulan Cerpen “Mereka Bilang Saya Monyet” karya Djenar Maesa Ayu. Karakteristik yang terdapat dalam Teori Postmodernisme yaitu Pastiche, Parodi, Kitsch, Camp, dan skizofrenia. Ke-lima karakteristik tersebut akan saya coba temukan dalam cerpen Mereka Bilang Saya Monyet ini.

B.     Rumusan Masalah
1)      Terdapat dalam cerpen manakah unsur karakteristik Pastiche?
2)      Terdapat dalam cerpen manakah unsur karakteristik Parodi?
3)      Terdapat dalam cerpen manakah unsur karakteristik Kitsch?
4)      Terdapat dalam cerpen manakah unsur karakteristik Camp?
5)      Terdapat dalam cerpen manakah unsur karakteristik Skizofrenia?
























BAB   II
METODE PENELITIAN



Metode Penelitian
            Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode Kualitatif. Penggunaan metode ini didasari oleh pendekatan yang berupa wawasan tentang karya sastra, khususnya cerpen. Karya sastra memiliki karakteristik tersendiri dan dinyatakan sebagai fenomena sosial budaya. Untuk dapat memahami nilai (Value) dalam cerpen ini dilakukan melalui pemahaman tentang makna yang hadir secara konkret dan makna yang dihadirkan sendiri oleh pembaca sendiri berdasarkan makna dasarnya (literal).
            Sumber data dalam penelitian ini ialah buku kumpelan cerpen “Mereka Bilang Saya Monyet” karya Djenar Maesa Ayu. Sesuai dengan masalah yang akan dipecahkan, penelitian ini menggunakan kerangka teori dan pendekatan Postmodernisme dengan teknik analisis Deskriptif Kualitatif. Adapun langkah yang digunakan dalam analisis ini ialah : 1) teks cerpen dibaca dan dipahami, kemudian dideskripsikan semua unsur yang diduga memenuhi ciri – ciri postmodernisme. 2) Diidentifikasi pula pada kalimat ataupun wacana yang menunjukan Postmodernisme. 3) Dianalisis dengan hubungan makna keseluruhan cerpen yang menjadi subjek penelitian.













BAB   III
PEMBAHASAN


            Dalam estetika Postmodernisme paling tidak ditemukannya lima karakteristik atau idiom estetik, yang meliputi Pastiche, Parodi, Kitsch, Camp, dan Skizofrenia. Namun setelah dilakukan pembacaan secara berulang, saya hanya bisa menemukan empat dari lima idiom terssebut yakni Camp, Parodi, Pastiche, dan Skizofrenia.

1)      CAMP
                 Camp adalah bentuk seni yang menekankan dekorasi, tekstur, permukaan sensual dan gaya dengan mengorbankan isi. Camp diciptakan sebagai satu jawaban terhadap kebosanan sekaligus merupakan satu reaksi terhadap keangkuhan kebudayaan tinggi yang telah memisahkan makna-makn sosial dan fungsi komunikasi sosial.
                 Contoh penggunaan Camp dalam cerpen “SMS”, cerpen tersebut sebagaimana bentuk SMS yang muncul dalam layar Hp, sehingga satu SMS menyerupai bait-bait puisi. sebagaimana dalam kutipan cerpen berikut,

Pagi, Sayang
     Sender: 0818883883
     Send: 2-Oct_2011  12:29:18

                 Whose number is this?
                             Sender: Vira 08161816116
                             Sent: 2-Oct-2001   12:32:11

My number dear, Boim
                             Sender:0818883883
                             Sent:2 Oct-2001   12:32:11

                 Busyet, jam segini dibilang pagi
                 Semalam keluyuran ke mana kamu?
                 Pakai ganti no. hp baru lagi. No cantik ya?
                             Sender: Vira 08161816116
                             Sent: 2-Oct-2001   12:33:59
Iya,Yang. Tapi tak melebihi
keantikkan kamu. Aku semalam pergi
karaoke bawa tamu. Ingat kamu, Yang.
                 Sender: Boim 0818883883
                 Sent: 2-Oct-2001   12:34:22


                                                                 (SMS, 43)


                 Dari cara Djenar menuliskan cerpennya ini tampak seperti bentuk drama. Cerita disampaikan dalam bentuk dialog-dialog yang diselingi keterangan suasana atau pengantar cerita sebagaimana dalam bentuk penulisan drama. Dalam cerpen tersebut pengarang sengaja menggunakan bentuk tulisan yang tergolong baru , salah satunya dengan cara menggunakan dekoratif dalam cerpennya. Bentuk semacam ini menunjukan kebebasan pengarangnya dalam mengekspresikan ide dan gagasannya yang tidak mau lagi dibatasi dengan adanya bentuk-bentuk atau konvensi, batasan-batasan atau aturan-aturan penulisan cerpen yang selama ini diikuti oleh pengarang cerpen yang lainnya.

2)      PARODI
                 Idiom Postmodernisme yang berbentuk parodi yang terdapat dalam kumpulan cerpen “Mereka Bilang Saya Monyet” terdapat dalam cerpen “Wong Asu”. Dalam cerpen Wong Asu ini pengarang melukiskan manusia dengan pelukisan binatang. Tedapat dalam kutipan cerpen dibawah ini.
·         Ya, Wong Asu, begitulah ia dinamakan.
o   Apakah kepalanya serupa anjing, berekor dan berkaki empat?
·         Itu benar-benar anjing, namanya. Tidak, ia manusia biasa seperti kita. Hanya saja...
o   Hanya saja apa?
·         Ia berkelakuan bagai anjing.
                                                                                         (“Wong Asu”, 77)
                 Pada cerpen tersebut Djenar Maesa Ayu melukiskan manusia sebagai binatang. Manusia dianggap seperti binatang karena prilaku yang dikerjakan oleh mereka semua.

3)      SKIZOFRENIA
                 Fenomena ini digunakan untuk menggambarkan kesimpangsiuran penggunaan bahasa. Kekacauan pertandaan, selain pada kalimat terdpat juga pada gambar, teks, dan objek. Berikut contoh fenomena ini dalam cerpen Waktu Nayla.

     “Sementara banyak yang sudah terlupakan. Suara mesin tik membahana dalam kamar yang lengang. Riuh rendah suara karyawan dikafetaria gedung perkantoran. Ngeceng di Plaza senayan. Mengeluh kepada sahabat tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Menampar pipi laki-laki kurang ajar di diskotek. Menghapus air mata yang menitik. Melamun. Membaca Stensilan. Makan nasi goreng kambing ramai-ramai dalam mobil di pinggir jalan. Masak Indomie  rebus rasa kari ayam. Menatap matahari terbenam. Nonton Formula One atau Piala Dunia di Sport bar. Menatap mata kekasih dengan berbinar-binar. Bersentuhan tangan ketika memasangkan serbet dipaha kekasih dengan tangan bergetar. Menanti dering telepon dengan hati berdebar. Memilih kartu ucapan rindu yang tidak terlalu norak tanpa lebih dahulu menunggu hari besar datang dengan dada berdebar.....
                             (“Waktu Nayla”, 68)

                 Dari kutipan tersebut dapat dilihat adanya penggunaan bahasa yang tidak komunikatif, ada ketidakruntutan dari penyampaian ide dan fikiran. Antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain dalam satu paragraf tidak ada hubungan yang padu, sehingga makna yang ingin disampaikan tidak dapat dipahami dengan mudah. Pembaca akan kesulitan dalam memahami maksud pengarang dikarenakan penggunaan bahasa tidak runtut dan ada kesimpangsiuran dalam kalimat-kalimatnya. Hal ini dapat dimungkinkan dalam cerpen Postmodern, karena dalam Postmodern apa saja bisa terjadi.


                                  


4)      PASTICHE
                 Pastiche didefinisakan sebagai karya sastra yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam dari berbagai penulis lain, atau penis lain di masa lalu. Fenomena Pastiche dalam kumpulan cerpen Mereka Bilang Saya Monyet ini, terdapat pada cerpen Wong Asu, karena pada bagian akhir cerpen tersebut secara jelas Djenar menuliskan bahwa penulisan cerpen Wong Asu terinspirasi cerpen Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Legenda Wong Asu”. Djenar menuliskan hal berikut,

JAKARTA, 9 MARET 2002, 4: 51: 51  PM
Inspired by cerpen “Legenda Wong Asu”
karya Seno Gumira Ajidarma

(“Wong Asu”, 89)

            Kalimat tersebut menjelaskan pada para pembaca bahwa dalam menulis cerpen tersebut Djenar terinspirasi dari cerpen Seno Gumira Ajidarma.


















BAB   IV
SIMPULAN


SIMPULAN
            Kumpulan Cerpen Mereka Bilang Saya Monyet ini memiliki karakteristik estetika Postmodernisme yang ditujukan dengan ditemukannya idiom camp, parodi, skizofrenia, dan pastiche. Ditemukannya cerpen dengan mengutamakan bentuk dekoratifnya menunjukan adanya Camp. Karakteristik estetika Parodi ditemukan dalam cerpen yang melukiskan manusia sebagai binatang. Skizofrenia ditemukan dalam penggunaan bahasa dalam cerpen, Sedangkan karakteristik Pastiche ditemukan dalam cerpen yang dituliskan berdasarkan inspirasi dari karya sastra yang diterbitkan terlebih dahulu.























DAFTAR ISI

Ayu, Djenar Maesa. 2002. Mereka Biilang Saya Monyet!. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan Membaca Lagi: [Reinterpretasi Fiksi Indonesia, 1980-1995 (diterjemahkan oleh Bakdi Soemanto. Magelang:Indonesia Tera).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar