BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kritik
sastra merupakan sebuah upaya untuk menjelaskan makna yang terkandung dalam
sebuah karya sastra. Sastra merupakan dunia imajiner yang sudah barang pasti
menghasilkan makna multitafsir pada setiap bentuknya. Tidak terkecuali dengan
cerpen, cerpen merupakan sebuah karya sastra yang berupa narasi atau cerita.
Cerpen dapat berbentuk cerita fiksi atau rekaan dan non fiksi atau yang sesuai
dengan kenyataan.
Untuk
memahami sebuah bentuk cerpen tentu tidak mudah. Kita harus memahami dahulu
karakteristik penulis cerpen tersebut agar bisa mengetahui jiwa dari cerpen
yang dibuatnya. Setiap penulis tentu memiliki karakteristik yang berbeda-beda
satu dengan yang lain. Mereka mempunyai gaya tersendiri dalam menyampaikan
pikiran melalui bentuk tulisan. Ada yang cara menyampaikannya secara sindiran,
dan adapula yang menyampaikannya secara terang-terangan. Hal ini tentu sah-sah
saja didalam sebuah bentuk karya sastra. Karena bagaimanapun juga sastra adalah
dunia imajiner yang hasil karyanya sesuai dengan hati dan kreatifitas
penulisnya.
Postmodernisme Dalam Pandangan Jean Francois Lyotarda
Jean-Francois Lyotard, dalam bukunya The Postmodern Condition: A report on
Knowledge (1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis secara lengkap
mengenai postmodernisme sebagai fenomena budaya yang lebih luas. Lyotard
memandang postmodernisme muncul sebelum dan setelah modernisme, dan merupakan
sisi yang berlawanan dengan modernisme. Halini diperkuat oleh pendapat Flaskas
yang mengatakan bahwa postmodernisme adalah oposisi dari premis modernisme.
Beberapa diantaranya adalah gerakan perpindahan dari fondasionalisme menuju
anti-fondasionalisme, dari teori besar (grand theory) menuju teori spesifik,
dari sesuatu yang universal menuju kesesuatu yang sebagian dan lokal, dari
kebenaran yang tunggal menuju ke kebenaran yang beragam. Semua gerakan tersebut
adalah mencerminkan tantangan postmodernist kepada modernist.
Pemahaman pemikiran
postmodernis menjadi penting untuk memahami berbagai perkembangan ilmu
pengetahuan dan budaya yang tidak lagi memadai untuk dianalisis hanya
berdasarkan paradigma ilmiah modern yang lebih menekankan kesatuan,
homogenitas, objektivitas, dan universalitas. Sementara ilmu pengetahuan dalam
pandangan postmodernis lebih menekankan pada pluralitas, perbedaan,
heterogenitas, budaya lokal/etnis,dan pengalaman hidup sehari-hari.
Menurut Jean Francois
Lyotard, bahwa awalan post pada postmodern, merupakan elaborasi keyakinan
modern, sebagai upaya untuk memutuskan hubungan dengan tradisi modern dengan
cara memunculkan cara - cara kehidupan dan pemikiran yang baru sama sekali.
Pemutusan dengan masalalu (jaman modern) merupakan jalan untuk melupakan dan
merepresi masa lalu. Dalam pandangan modernisme, ilmu pengetahuan berkembang
sebagai pemenuhan keinginan untuk keluar dari mitos-mitos yang digunakan
masyarakat primitif menjelaskan fenomena alam, dan modernitas adalah proyek
intelektual yang mencari kesatuan berdasarkan fondasi sebagai jalan menuju
kemajuan.
Bagi postmodernisme ide
rasionalitas dan humanisme merupakan konstruksi historis, konstruksi sosial
budaya dan bukan sesuatu yang bersifat alami (kodrat) dan universal. Sehingga
kedua hal tersebut tidak dapat diseragamkan tanpa mempertimbangkan kondisi
sosial-historis serta budaya lokal. Keanekaragaman pemikiran menurut Lyotard
hanya dapat dicapai dengan melakukan penolakan terhadap kesatuan (unity), dengan
mencari disensus (ketidak sepakatan) secara radikal. Jean Francois Lyotard
merupakan pemikir postmodern yang penting karena memberikan pendasaran
filosofis pada gerakan postmodern. Penolakannya terhadap konsep narasi agung
(grand native) serta pemikirannya yang mengemukakan konsep perbedaan dan
language game sebagai alternatif terhadap kesatuan (unity). Lyotard memandang
bahwa, didalam bahasa tidak ada keutuhan, yang ada hanyalah pulau-pulau bahasa,
yang masing-masing diatur oleh sebuah sistem yang tidak bisa diterjemahkan
kedalam sistem yang lain.
Pengejawantahan postmo adalah formlessness, ambiguitas, ketidak
pastian, ironi, oposisionalitas, dan relatives.
Dalam analisis ini saya
akan coba menemukan beberapa karakteristik Postmodernisme yang terdapat dalam
kumpulan Cerpen “Mereka Bilang Saya Monyet” karya Djenar Maesa Ayu.
Karakteristik yang terdapat dalam Teori Postmodernisme yaitu Pastiche, Parodi,
Kitsch, Camp, dan skizofrenia. Ke-lima karakteristik tersebut akan saya coba
temukan dalam cerpen Mereka Bilang Saya Monyet ini.
B. Rumusan Masalah
1)
Terdapat dalam cerpen
manakah unsur karakteristik Pastiche?
2)
Terdapat dalam cerpen
manakah unsur karakteristik Parodi?
3)
Terdapat dalam cerpen
manakah unsur karakteristik Kitsch?
4)
Terdapat dalam cerpen
manakah unsur karakteristik Camp?
5)
Terdapat dalam cerpen
manakah unsur karakteristik Skizofrenia?
BAB II
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode
Kualitatif. Penggunaan metode ini didasari oleh pendekatan yang berupa wawasan
tentang karya sastra, khususnya cerpen. Karya sastra memiliki karakteristik
tersendiri dan dinyatakan sebagai fenomena sosial budaya. Untuk dapat memahami
nilai (Value) dalam cerpen ini dilakukan melalui pemahaman tentang makna yang
hadir secara konkret dan makna yang dihadirkan sendiri oleh pembaca sendiri
berdasarkan makna dasarnya (literal).
Sumber data dalam penelitian ini ialah buku kumpelan
cerpen “Mereka Bilang Saya Monyet” karya Djenar Maesa Ayu. Sesuai dengan
masalah yang akan dipecahkan, penelitian ini menggunakan kerangka teori dan
pendekatan Postmodernisme dengan teknik analisis Deskriptif Kualitatif. Adapun
langkah yang digunakan dalam analisis ini ialah : 1) teks cerpen dibaca dan
dipahami, kemudian dideskripsikan semua unsur yang diduga memenuhi ciri – ciri
postmodernisme. 2) Diidentifikasi pula pada kalimat ataupun wacana yang
menunjukan Postmodernisme. 3) Dianalisis dengan hubungan makna keseluruhan
cerpen yang menjadi subjek penelitian.
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam estetika Postmodernisme paling tidak ditemukannya
lima karakteristik atau idiom estetik, yang meliputi Pastiche, Parodi, Kitsch,
Camp, dan Skizofrenia. Namun setelah dilakukan pembacaan secara berulang, saya
hanya bisa menemukan empat dari lima idiom terssebut yakni Camp, Parodi,
Pastiche, dan Skizofrenia.
1)
CAMP
Camp
adalah bentuk seni yang menekankan dekorasi, tekstur, permukaan sensual dan
gaya dengan mengorbankan isi. Camp diciptakan sebagai satu jawaban terhadap kebosanan
sekaligus merupakan satu reaksi terhadap keangkuhan kebudayaan tinggi yang
telah memisahkan makna-makn sosial dan fungsi komunikasi sosial.
Contoh penggunaan
Camp dalam cerpen “SMS”, cerpen tersebut sebagaimana bentuk SMS yang muncul
dalam layar Hp, sehingga satu SMS menyerupai bait-bait puisi. sebagaimana dalam
kutipan cerpen berikut,
Pagi, Sayang
Sender: 0818883883
Send: 2-Oct_2011 12:29:18
Whose number is this?
Sender:
Vira 08161816116
Sent:
2-Oct-2001 12:32:11
My number dear, Boim
Sender:0818883883
Sent:2
Oct-2001 12:32:11
Busyet, jam segini
dibilang pagi
Semalam keluyuran ke
mana kamu?
Pakai ganti no. hp
baru lagi. No cantik ya?
Sender:
Vira 08161816116
Sent:
2-Oct-2001 12:33:59
Iya,Yang. Tapi tak melebihi
keantikkan kamu. Aku semalam pergi
karaoke bawa tamu. Ingat kamu, Yang.
Sender: Boim
0818883883
Sent: 2-Oct-2001 12:34:22
(SMS,
43)
Dari cara Djenar
menuliskan cerpennya ini tampak seperti bentuk drama. Cerita disampaikan dalam bentuk
dialog-dialog yang diselingi keterangan suasana atau pengantar cerita
sebagaimana dalam bentuk penulisan drama. Dalam cerpen tersebut pengarang
sengaja menggunakan bentuk tulisan yang tergolong baru , salah satunya dengan
cara menggunakan dekoratif dalam cerpennya. Bentuk semacam ini menunjukan
kebebasan pengarangnya dalam mengekspresikan ide dan gagasannya yang tidak mau
lagi dibatasi dengan adanya bentuk-bentuk atau konvensi, batasan-batasan atau
aturan-aturan penulisan cerpen yang selama ini diikuti oleh pengarang cerpen
yang lainnya.
2)
PARODI
Idiom Postmodernisme yang berbentuk parodi yang terdapat dalam kumpulan
cerpen “Mereka Bilang Saya Monyet” terdapat dalam cerpen “Wong Asu”. Dalam
cerpen Wong Asu ini pengarang melukiskan manusia dengan pelukisan binatang.
Tedapat dalam kutipan cerpen dibawah ini.
·
Ya, Wong Asu, begitulah
ia dinamakan.
o Apakah kepalanya serupa anjing, berekor dan berkaki empat?
·
Itu benar-benar anjing,
namanya. Tidak, ia manusia biasa seperti kita. Hanya saja...
o Hanya saja apa?
·
Ia berkelakuan bagai
anjing.
(“Wong
Asu”, 77)
Pada cerpen tersebut
Djenar Maesa Ayu melukiskan manusia sebagai binatang. Manusia dianggap seperti
binatang karena prilaku yang dikerjakan oleh mereka semua.
3)
SKIZOFRENIA
Fenomena ini digunakan untuk menggambarkan kesimpangsiuran penggunaan
bahasa. Kekacauan pertandaan, selain pada kalimat terdpat juga pada gambar,
teks, dan objek. Berikut contoh fenomena ini dalam cerpen Waktu Nayla.
“Sementara banyak yang sudah
terlupakan. Suara mesin tik membahana dalam kamar yang lengang. Riuh rendah
suara karyawan dikafetaria gedung perkantoran. Ngeceng di Plaza senayan. Mengeluh kepada sahabat tentang cinta
yang bertepuk sebelah tangan. Menampar pipi laki-laki kurang ajar di diskotek.
Menghapus air mata yang menitik. Melamun. Membaca Stensilan. Makan nasi goreng
kambing ramai-ramai dalam mobil di pinggir jalan. Masak Indomie rebus rasa kari
ayam. Menatap matahari terbenam. Nonton Formula One atau Piala Dunia di Sport
bar. Menatap mata kekasih dengan berbinar-binar. Bersentuhan tangan ketika
memasangkan serbet dipaha kekasih dengan tangan bergetar. Menanti dering
telepon dengan hati berdebar. Memilih kartu ucapan rindu yang tidak terlalu
norak tanpa lebih dahulu menunggu hari besar datang dengan dada berdebar.....
(“Waktu
Nayla”, 68)
Dari kutipan tersebut
dapat dilihat adanya penggunaan bahasa yang tidak komunikatif, ada
ketidakruntutan dari penyampaian ide dan fikiran. Antara kalimat yang satu
dengan kalimat yang lain dalam satu paragraf tidak ada hubungan yang padu,
sehingga makna yang ingin disampaikan tidak dapat dipahami dengan mudah.
Pembaca akan kesulitan dalam memahami maksud pengarang dikarenakan penggunaan
bahasa tidak runtut dan ada kesimpangsiuran dalam kalimat-kalimatnya. Hal ini
dapat dimungkinkan dalam cerpen Postmodern, karena dalam Postmodern apa saja
bisa terjadi.
4)
PASTICHE
Pastiche
didefinisakan sebagai karya sastra yang disusun dari elemen-elemen yang
dipinjam dari berbagai penulis lain, atau penis lain di masa lalu. Fenomena
Pastiche dalam kumpulan cerpen Mereka Bilang Saya Monyet ini, terdapat pada
cerpen Wong Asu, karena pada bagian akhir cerpen tersebut secara jelas Djenar
menuliskan bahwa penulisan cerpen Wong Asu terinspirasi cerpen Seno Gumira
Ajidarma yang berjudul “Legenda Wong Asu”. Djenar menuliskan hal berikut,
JAKARTA, 9 MARET 2002, 4: 51: 51 PM
Inspired by cerpen “Legenda Wong Asu”
karya Seno Gumira Ajidarma
(“Wong Asu”, 89)
Kalimat tersebut
menjelaskan pada para pembaca bahwa dalam menulis cerpen tersebut Djenar
terinspirasi dari cerpen Seno Gumira Ajidarma.
BAB IV
SIMPULAN
SIMPULAN
Kumpulan Cerpen Mereka
Bilang Saya Monyet ini memiliki karakteristik estetika Postmodernisme yang
ditujukan dengan ditemukannya idiom camp, parodi, skizofrenia, dan pastiche.
Ditemukannya cerpen dengan mengutamakan bentuk dekoratifnya menunjukan adanya Camp.
Karakteristik estetika Parodi ditemukan dalam cerpen yang melukiskan manusia
sebagai binatang. Skizofrenia ditemukan dalam penggunaan bahasa dalam cerpen,
Sedangkan karakteristik Pastiche ditemukan dalam cerpen yang dituliskan
berdasarkan inspirasi dari karya sastra yang diterbitkan terlebih dahulu.
DAFTAR ISI
Ayu, Djenar Maesa. 2002. Mereka
Biilang Saya Monyet!. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan
Membaca Lagi: [Reinterpretasi Fiksi
Indonesia, 1980-1995 (diterjemahkan oleh Bakdi Soemanto. Magelang:Indonesia
Tera).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar