Postmodernisme
pertama kali muncul ke permukaan di dunia Latin tahun 1930-an, satu generasi
sebelum kemunculannya di Inggris atau Amerika. Seorang dari Unamuno dan Ortega,
Federico de Onis, yang mengedepankan istilah postmodernismo. Ia memakainya
untuk menggambarkan pengaliran kembali konservatif (conservative reflux) dalam
modernism itu sendiri: sebuah aliran yang mencari pelarian dari tangan lirik
(lyrical challenge) yang berat dalam sebuah perfeksionisme yang detail dan
humor ironis yang mati, yang keistimewaan paling orisinil pada pengungkapan
kepada perempuan. Dilanjutkan oleh Toynbee yang menerbitkan A Study of History
dalam jilid ke-8 terbit tahun 1954 memberi zaman yang baru terbuka dengan
adanya perang Prancis-Prussia (Franco-Prussia War) sebagai era post-modern
(Post-modern age) (Anderson, 2008:4-5). Postmodernisme adalah nama gerakan di
kebudayaan kapitalis lanjutan, secara khusus dalam seni. Terdapat pengertian
bila orang melihat modernism sebagai kebudayaan modernitas, maka postmodernisme
akan dipandang sebagai kebudayaan postmodernisme.
Ciri-ciri
fiksi modern adalah sifat epistemologinya, sedangkan yang mendasari
pengelompokan ciri-ciri fiksi postmodernisme adalah sifat ontologisnya (McHale,
2004: 11). Sifat ontologis yang dikedepankan adalah sifat ontologis dalam
pengertian umum, agar bisa dideskripsikan ke dalam repertoar strategi-strategi pengedepanan.
McHale (
pluralitas ontologisme ) membagi beberapa point dalam postmodernisme,
1.
Dunia – dunia
2.
Konstruksi
3.
Kata-kata
4.
Pendasaran
Dari konsep McHale di atas,
analisis postmodernisme pada novel “prahara di bumi banten” akan menggunakan
konsep McHale terutama konsep dunia-dunia yang banyak terdapat pada novel ini.
Landasan
Brian McHale merupakan salah satu
teoritis yang mengemukakan pemikirannya mengenai postmodernisme khususnya dalam
fiksi. Ia memahami ‘post-modernisme’ bukan sebagai ‘post-modern’ (setelah modern), melainkan sebagai konsekuensi
sebagai ‘postmmodernism’ (setelah
gerakan modern). Awalan ‘post’
dipandangnya lebih sesuai sebagai konsekuensi logis dan historis, bukan posteriority (akhir/keputusan). Dalam
fiksi postmodern Brian McHale mengemukakan konsep ‘dominan’ yang didefinisikan
sebagai komponen yang menjadi focus dalam sebuah karya seni, yang mengatur,
mendeterminasi, dan mentransformasi komponen lainnya. Berbagai dominan dapat
diamati tergantung pada level, lingkungan, maupun focus analisis. Dengan kata
lain, dominan yang berbeda-beda dapat muncul tergantung dari sudut pandang mana
suatu teks akan ditinjau.
McHale menyebutkan bahwa yang dominan
pada fiksi-fiksi postmodern bersifat epistemologis, artinya fiksi modern
menggunakan strategi yang mengemukakan persoalan-persoalan seperti: bagaimana
aku menginterfretasi dunia ini? Apakah aku didalam dunia ini?. Teks modern
mengedepankan tema-tema epistemologis seperti aksesibilitas pengetehuan dan
masalah ke takterpahamkan.
Dalam fiksi postmodern, dominan
tersebut bergeser menjadi ontologism, yaitu dari masalah-masalah cara
mengetahui menjadi cara keberadaan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah
‘Dunia macam apakah ini? Apa yang harus dilakukan didalamnya? Bagaimanakah dari
diriku yang terhubung dengannya?. Pertanyaan lain yang menyertai persoalan
ontologism ini misalnya ‘Apakah yang dimaksud dengan ‘dunia’ itu? Ada dunia
macam apa saja, bagaimana dunia itu terbentuk, dan dimanakah perbedaanya?
Bagaimana jika dunia-dunia itu dikonfrontasikan, dan batasan setiap dunia
dihancurkan?’
pola-pola repertoar itu dikelompokkan
ke dalam empat kategori besar, yaitu (1) dunia-dunia, (2) konstruksi, (3)
kata-kata, dan (4) pendasaran (McHale, 2004:27-40).
1.
Dunia-Dunia
Persinggungan
di dalam Dunia-dunia
Didalam dunia-dunia Brian McHale
menguraikan berbagai macam pola reporter strategi-strategi pengedepankan sifat
ontologis yang berwujud berbagai macam Zona, berbagai macam pola persinggungan
antara dunia fiksi postmodern dengan dunia fiksi ilmiah, persinggungan antara
dunia fiksi postmodern dengan fiksi fantastic, persinggungan antara dunia fiksi
postmodern dengan fakta sejarah.
Persinggungan
antara dunia fiksi postmodern dengan fiksi fantasi
Pandangan dunia yang melihat bahwa
antara teks yang satu dengan yang lain bisa saling melintas juga menjadi dasar
bagi terjadinya persinggungan antara fiksi postmodern dengan fikksi fantasi.
Hal itu bisa terjadi karena sebagaimana persinggungan antara fiksi postmodernis
dengan fiksi ilmiah, yang dominan pada kedua jenis fiksi tersebut adalah sifat
ontologisnya. Fiksi fantastic dikatakan memiliki sifat ontologism yang dominan
karena didalamnya terjadi konfrontasi ontologism antara dunia normal,
sehari-hari dengan dunia paranormal, supernatural.
Persinggungan
Antara dunia Fiksi Postmodern dengan Fakta Sejarah
Seperti gaya postmodern umumnya,
tulisan fiksi postmodern menggunakan teknik pencampur adukan. Beberapa penulis
mengambil elemen-elemen tradisional dan mencampurkannya secara berantakan untuk
menyampaikan suatu ironi mengenai topik-topik yang biasa dibahas. Bahkan
beberapa penulis mencampurkan kejadian nyata dan khayalan.
Pencampuradukan ini terjadi bahkan
kepada tokoh-tokoh fiksi tersebut. Beberapa penulis postmodern memusatkan
perhatian kepada tokoh-tokoh khayalan dengan segala prilakunya. Pada saat yang
sama, tokoh-tokoh khayalan itu adalah tokoh-tokoh yang nyata dalam sejarah
manusia.
Tulisan fiksi postmodern
mencampuradukan dua dunia yang tidak ada hubungan satu sama lain. Dunia-dunia
tersebut masing-masing otonom. Tokoh-tokoh dalam tulisan fiksi itu merasa
bingung didunia mana mereka berada, dan apa tindakan mereka berikutnya ditengah
dunia yang saling bertubrukan.
Berbeda dengan pandangan diatas,
Todorov melihat bahwa fantastic berada dalam keragu-raguan epistemology (epistemological uncertainly), suatu zona
yang berada diantara uncanny dan marvelous. Dengan pemahaman serupa itu,
sebuah karya fiksi entah itu uncanny, fantasi, atau marvelous bukan
pertama-tama menyangkut keberadaan teks itu sendiri, tetapi berkenaan dengan
pemahaman teoritis mengenainya.
Fiksi fantastic menggambarkan
pesinggungan antara dunia normal, sehari-hari, dengan dunia paranormal,
supernatural. Fantastic adalah mode penulisan yang memasuki suatu dialog dengan
yang ‘riil’ dan menggabungkan dialog itu sebagai bagian struktur esensinya.
McHale mendeskripsikan fantastic sebagai dialogis, suatu pengintrogasian
terhadap cara-cara melihat secara tunggal atau utuh.
Persinggungan
Antara dunia Fiksi Postmodern dengan Fakta Sejarah
Seperti gaya postmodern umumnya,
tulisan fiksi postmodern menggunakan teknik pencampur adukan. Beberapa penulis
mengambil elemen-elemen tradisional dan mencampurkannya secara berantakan untuk
menyampaikan suatu ironi mengenai topic-topik yang biasa dibahas. Bahkan beberapa
penulis mencampurkan kejadian nyata dan khayalan.
Pencampuradukan ini terjadi bahkan
kepada tokoh-tokoh fiksi tersebut. Beberapa penulis postmodern memusatkan
perhatian kepada tokoh-tokoh khayalan dengan segala prilakunya. Pada saat yang
sama, tokoh-tokoh khayalan itu adalah tokoh-tokoh yang nyata dalam sejarah
manusia.
Tulisan fiksi postmodern
mencampuradukan dua dunia yang tidak ada hubungan satu sama lain. Dunia-dunia
tersebut masing-masing otonom. Tokoh-tokoh dalam tulisan fiksi itu merasa bingung
didunia mana mereka berada, dan apa tindakan mereka berikutnya ditengah dunia
yang saling bertubrukan.
2.
Kontruksi
Kerangka
bangunan, bagaimana tokoh dalam cerita tersebut membangun kerangka. Misalnya
menjadi seorang pemimpin atau berkuasa.
3.
Kata-Kata
Kata-kata
di sini adalah bagaimana pengarang memainkan kata pada cerita tersebut atau
dilebih-lebihkan.
4.
Pendasaran
Strategi
pengedepanan dari epistemologi menjadi ontologism
Dari
uraian di atas peneliti akan mengarahkan penelitiannya kepada konsep dunia-dunia,
kontrusi dan pendasaran.
Bahasan
1.
Dunia-dunia
·
Cerita Berbingkai
Pada
novel Prahara di Bumi Banten sangat jelas bahwa pengarang menyajikan cerita
yang berbingkai, dimana pada novel ini saat bercerita tentang satu tokoh,
kemudia cerita selesai di lanjutkan dengan cerita tokoh lain dalam novel
terebut, begitu seterusnya sampai novel ini selesai pengarang tetap menyajikan
cerita yang berbingkai. Misalnya saat subjudul pertama sapri kemudian berganti
cerita dengan subjudul perselisihan. Dan seterusnya.
·
Strategi Penyisipan
Pada
novel Prahara di Bumi Banten, banya sekali disisipkan penggalan-penggalan puisi
misalnya terdapat pada setiap subjudul selalu disisipi puisi.
Golok
Biarkan
saja mengilap seperti itu
Ia
menyeringai dibalik angkuhmu
Pun
tanpa kautahu
Ia
kenal letak jantungmu
Ia
tertarik pada degup itu ( hal 7 )
Santri
pembawa kendi
Pada
suatu hari nanti
Jasadku
tak aka nada lagi
Tapi,
dalam bait-bait sajak ini
Kau
tak akan kurelakan sendiri
Pada
suatu hari nanti
Suaraku
tak terdengar lagi
Tapi,
diantara larik-larik sajak ini
Kau
akan tetap kusiasati
Pada
suatu hari nanti
Impianku
pun tak dikenal lagi
Namun,
disela-sela huruf sajak ini
Kau
tak akan letih kucari ( hal 54 )
·
Strategi Intertekstual
Keterkaitan
antar teks, dalam novel ini antara teks yang satu dengan teks yang lainnya
mempunyai keterkaitan, itu terbukti adanya subjudul yang mempunyai keterkaitan
dengan subjudul lainnya. Misalnya subjudul kakek misterius mempunyai
keterkaitan dengan subjudul akar masalah.
Persinggungan
antara dunia fiksi postmodern dengan fiksi fantasi
Pandangan dunia yang melihat bahwa
antara teks yang satu dengan yang lain bisa saling melintas juga menjadi dasar
bagi terjadinya persinggungan antara fiksi postmodern dengan fikksi fantasi.
Hal itu bisa terjadi karena sebagaimana persinggungan antara fiksi postmodernis
dengan fiksi ilmiah, yang dominan pada kedua jenis fiksi tersebut adalah sifat
ontologisnya. Fiksi fantastic dikatakan memiliki sifrah at ontologism yang
dominan karena didalamnya terjadi konfrontasi ontologism antara dunia normal,
sehari-hari dengan dunia paranormal, supernatural.
·
Kebanalan
Cerita
pada novel ini bnayak mengandung unsur kebanalan atau konsep diluar nalar. Misalnya
konsep golok yang bisa terbang.
2. Kontruksi
Kontruksi
di sini terjadi pada tokoh badai yang menjadi sosok pemimpin atau berkuasa pada
cerita ini. Karena badai mampu mngalahkan penjahat dan memiliki kesaktian yang
luar biasa. Dan di cerita ini tokoh badai adalah satu tokoh yang mendapatkan
kitab serat cikadeun.
3.
Kata-kata
Pada
novel ini, tidak ada unsur permainan kata-kata. Karena pada cerita ini semua
kata-kata tidak ada yang dilebih-lebihkan dan bahasa yang di gunakan mudah
dipahami atau dimengerti tanpa harus berulang-ulang membacanya.
4.
Pendasaran
Strategi
pengedepanan, epistemologi di sini bagaimana menceritakan tentang asal-usul
daerah Labuan. Dan asal usul konflik yang terjadi pada cerita ini.
Unsur Sejarah yang Terdapat dalam Novel
Jawara Angkara Di Bumi Krakatau
Bila kita mendengar kata “Banten” apa yang muncul dalam
benak kita? Mungkin jawabannya beragam, namun Jawara dan Debus lah yang paling
banyak muncul dari beragam anggapan yang ada. Hal tersebut bukanlah sesuatu
yang mengherankan karena Jawara merupakan entitas yang tidak bisa dipisahkan
dari masyarkat Banten.
Jawara,
bagi orang Banten istilah tersebut sudah tidak asing lagi. Suatu kasta dalam
masyarakat Banten tersebut dulunya merupakan sebutan bagi para santri yang
khusus dibekali kemampuan beladiri atau kanuragan guna melindungi para kyai
dalam menyebarkan syiar Islam. Namun, sebutan jawara tersebut kini bergeser
menjadi sebutan bagi mereka yang menguasai ilmu beladiri khas Banten.
Penutup
Novel prahara
di bumi banten sangatlah jelas bahwa novel ini termasuk dalam novel yang
beraliran posmodernisme karena dari empat konsep mchale, novel ini terdapat
tiga konsep mchale yaitu dunia-dunia, pada cerita ini unsure-unsur dari
duni-dunia yaitu adanya cerita berbingkai, strategi penyisipan, strategi
intertekstual, persinggungan antra fiksi dan modern dan kebanalan, kontruksi, dimana pada novel ini sangat jelas
bagaiman badai menjadi satu tokoh yang sakti dan bisa mendapatkan kitab
cikadeun, pendasaran, dimana epistemologi sangat terlihat dari pertama cerita
ini di baca.
Daftar Pustaka
Zam, Fatih. 2012. Jawara, Angkara di
Bumi Krakatau. Solo : Tiga Serangkai
McHale, Brian. 2004. Postmodernist Fiction. Methuen.
Kakak ada buku mcHale, Brian 2004
BalasHapus