Jumat, 22 Mei 2015

Analisis Postmodernisme Pada Novel “Prahara Di Bumi Banten” Karya Fatih Zam




Pendahuluan
Postmodernisme pertama kali muncul ke permukaan di dunia Latin tahun 1930-an, satu generasi sebelum kemunculannya di Inggris atau Amerika. Seorang dari Unamuno dan Ortega, Federico de Onis, yang mengedepankan istilah postmodernismo. Ia memakainya untuk menggambarkan pengaliran kembali konservatif (conservative reflux) dalam modernism itu sendiri: sebuah aliran yang mencari pelarian dari tangan lirik (lyrical challenge) yang berat dalam sebuah perfeksionisme yang detail dan humor ironis yang mati, yang keistimewaan paling orisinil pada pengungkapan kepada perempuan. Dilanjutkan oleh Toynbee yang menerbitkan A Study of History dalam jilid ke-8 terbit tahun 1954 memberi zaman yang baru terbuka dengan adanya perang Prancis-Prussia (Franco-Prussia War) sebagai era post-modern (Post-modern age) (Anderson, 2008:4-5). Postmodernisme adalah nama gerakan di kebudayaan kapitalis lanjutan, secara khusus dalam seni. Terdapat pengertian bila orang melihat modernism sebagai kebudayaan modernitas, maka postmodernisme akan dipandang sebagai kebudayaan postmodernisme.
Ciri-ciri fiksi modern adalah sifat epistemologinya, sedangkan yang mendasari pengelompokan ciri-ciri fiksi postmodernisme adalah sifat ontologisnya (McHale, 2004: 11). Sifat ontologis yang dikedepankan adalah sifat ontologis dalam pengertian umum, agar bisa dideskripsikan ke dalam repertoar strategi-strategi pengedepanan.
McHale ( pluralitas ontologisme ) membagi beberapa point dalam postmodernisme,
1.   Dunia – dunia
2.   Konstruksi
3.   Kata-kata
4.   Pendasaran
Dari konsep McHale di atas, analisis postmodernisme pada novel “prahara di bumi banten” akan menggunakan konsep McHale terutama konsep dunia-dunia yang banyak terdapat pada novel ini.

Landasan
Brian McHale merupakan salah satu teoritis yang mengemukakan pemikirannya mengenai postmodernisme khususnya dalam fiksi. Ia memahami ‘post-modernisme’  bukan sebagai ‘post-modern’ (setelah modern), melainkan sebagai konsekuensi sebagai ‘postmmodernism’ (setelah gerakan modern). Awalan ‘post’ dipandangnya lebih sesuai sebagai konsekuensi logis dan historis, bukan posteriority (akhir/keputusan). Dalam fiksi postmodern Brian McHale mengemukakan konsep ‘dominan’ yang didefinisikan sebagai komponen yang menjadi focus dalam sebuah karya seni, yang mengatur, mendeterminasi, dan mentransformasi komponen lainnya. Berbagai dominan dapat diamati tergantung pada level, lingkungan, maupun focus analisis. Dengan kata lain, dominan yang berbeda-beda dapat muncul tergantung dari sudut pandang mana suatu teks akan ditinjau.
McHale menyebutkan bahwa yang dominan pada fiksi-fiksi postmodern bersifat epistemologis, artinya fiksi modern menggunakan strategi yang mengemukakan persoalan-persoalan seperti: bagaimana aku menginterfretasi dunia ini? Apakah aku didalam dunia ini?. Teks modern mengedepankan tema-tema epistemologis seperti aksesibilitas pengetehuan dan masalah ke takterpahamkan.
Dalam fiksi postmodern, dominan tersebut bergeser menjadi ontologism, yaitu dari masalah-masalah cara mengetahui menjadi cara keberadaan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah ‘Dunia macam apakah ini? Apa yang harus dilakukan didalamnya? Bagaimanakah dari diriku yang terhubung dengannya?. Pertanyaan lain yang menyertai persoalan ontologism ini misalnya ‘Apakah yang dimaksud dengan ‘dunia’ itu? Ada dunia macam apa saja, bagaimana dunia itu terbentuk, dan dimanakah perbedaanya? Bagaimana jika dunia-dunia itu dikonfrontasikan, dan batasan setiap dunia dihancurkan?’
pola-pola repertoar itu dikelompokkan ke dalam empat kategori besar, yaitu (1) dunia-dunia, (2) konstruksi, (3) kata-kata, dan (4) pendasaran (McHale, 2004:27-40).
1.           Dunia-Dunia
Persinggungan di dalam Dunia-dunia
Didalam dunia-dunia Brian McHale menguraikan berbagai macam pola reporter strategi-strategi pengedepankan sifat ontologis yang berwujud berbagai macam Zona, berbagai macam pola persinggungan antara dunia fiksi postmodern dengan dunia fiksi ilmiah, persinggungan antara dunia fiksi postmodern dengan fiksi fantastic, persinggungan antara dunia fiksi postmodern dengan fakta sejarah.
Persinggungan antara dunia fiksi postmodern dengan fiksi fantasi
Pandangan dunia yang melihat bahwa antara teks yang satu dengan yang lain bisa saling melintas juga menjadi dasar bagi terjadinya persinggungan antara fiksi postmodern dengan fikksi fantasi. Hal itu bisa terjadi karena sebagaimana persinggungan antara fiksi postmodernis dengan fiksi ilmiah, yang dominan pada kedua jenis fiksi tersebut adalah sifat ontologisnya. Fiksi fantastic dikatakan memiliki sifat ontologism yang dominan karena didalamnya terjadi konfrontasi ontologism antara dunia normal, sehari-hari dengan dunia paranormal, supernatural.
Persinggungan Antara dunia Fiksi Postmodern dengan Fakta Sejarah
Seperti gaya postmodern umumnya, tulisan fiksi postmodern menggunakan teknik pencampur adukan. Beberapa penulis mengambil elemen-elemen tradisional dan mencampurkannya secara berantakan untuk menyampaikan suatu ironi mengenai topik-topik yang biasa dibahas. Bahkan beberapa penulis mencampurkan kejadian nyata dan khayalan.
Pencampuradukan ini terjadi bahkan kepada tokoh-tokoh fiksi tersebut. Beberapa penulis postmodern memusatkan perhatian kepada tokoh-tokoh khayalan dengan segala prilakunya. Pada saat yang sama, tokoh-tokoh khayalan itu adalah tokoh-tokoh yang nyata dalam sejarah manusia.
Tulisan fiksi postmodern mencampuradukan dua dunia yang tidak ada hubungan satu sama lain. Dunia-dunia tersebut masing-masing otonom. Tokoh-tokoh dalam tulisan fiksi itu merasa bingung didunia mana mereka berada, dan apa tindakan mereka berikutnya ditengah dunia yang saling bertubrukan.
Berbeda dengan pandangan diatas, Todorov melihat bahwa fantastic berada dalam keragu-raguan epistemology (epistemological uncertainly), suatu zona yang berada diantara uncanny dan marvelous. Dengan pemahaman serupa itu, sebuah karya fiksi entah itu uncanny, fantasi, atau marvelous bukan pertama-tama menyangkut keberadaan teks itu sendiri, tetapi berkenaan dengan pemahaman teoritis mengenainya.
Fiksi fantastic menggambarkan pesinggungan antara dunia normal, sehari-hari, dengan dunia paranormal, supernatural. Fantastic adalah mode penulisan yang memasuki suatu dialog dengan yang ‘riil’ dan menggabungkan dialog itu sebagai bagian struktur esensinya. McHale mendeskripsikan fantastic sebagai dialogis, suatu pengintrogasian terhadap cara-cara melihat secara tunggal atau utuh.

Persinggungan Antara dunia Fiksi Postmodern dengan Fakta Sejarah
Seperti gaya postmodern umumnya, tulisan fiksi postmodern menggunakan teknik pencampur adukan. Beberapa penulis mengambil elemen-elemen tradisional dan mencampurkannya secara berantakan untuk menyampaikan suatu ironi mengenai topic-topik yang biasa dibahas. Bahkan beberapa penulis mencampurkan kejadian nyata dan khayalan.
Pencampuradukan ini terjadi bahkan kepada tokoh-tokoh fiksi tersebut. Beberapa penulis postmodern memusatkan perhatian kepada tokoh-tokoh khayalan dengan segala prilakunya. Pada saat yang sama, tokoh-tokoh khayalan itu adalah tokoh-tokoh yang nyata dalam sejarah manusia.
Tulisan fiksi postmodern mencampuradukan dua dunia yang tidak ada hubungan satu sama lain. Dunia-dunia tersebut masing-masing otonom. Tokoh-tokoh dalam tulisan fiksi itu merasa bingung didunia mana mereka berada, dan apa tindakan mereka berikutnya ditengah dunia yang saling bertubrukan.
2.           Kontruksi
Kerangka bangunan, bagaimana tokoh dalam cerita tersebut membangun kerangka. Misalnya menjadi seorang pemimpin atau berkuasa.
3.           Kata-Kata
Kata-kata di sini adalah bagaimana pengarang memainkan kata pada cerita tersebut atau dilebih-lebihkan.
4.           Pendasaran
Strategi pengedepanan dari epistemologi menjadi ontologism
Dari uraian di atas peneliti akan mengarahkan penelitiannya kepada konsep dunia-dunia, kontrusi dan pendasaran.
Bahasan
1.   Dunia-dunia
·         Cerita Berbingkai
Pada novel Prahara di Bumi Banten sangat jelas bahwa pengarang menyajikan cerita yang berbingkai, dimana pada novel ini saat bercerita tentang satu tokoh, kemudia cerita selesai di lanjutkan dengan cerita tokoh lain dalam novel terebut, begitu seterusnya sampai novel ini selesai pengarang tetap menyajikan cerita yang berbingkai. Misalnya saat subjudul pertama sapri kemudian berganti cerita dengan subjudul perselisihan. Dan seterusnya.
·         Strategi Penyisipan
Pada novel Prahara di Bumi Banten, banya sekali disisipkan penggalan-penggalan puisi misalnya terdapat pada setiap subjudul selalu disisipi puisi.

Golok

Biarkan saja mengilap seperti itu
Ia menyeringai dibalik angkuhmu
Pun tanpa kautahu
Ia kenal letak jantungmu
Ia tertarik pada degup itu ( hal 7 )


Santri pembawa kendi

Pada suatu hari nanti
Jasadku tak aka nada lagi
Tapi, dalam bait-bait sajak ini
Kau tak akan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi, diantara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun, disela-sela huruf sajak ini
Kau tak akan letih kucari ( hal 54 )

·         Strategi Intertekstual
Keterkaitan antar teks, dalam novel ini antara teks yang satu dengan teks yang lainnya mempunyai keterkaitan, itu terbukti adanya subjudul yang mempunyai keterkaitan dengan subjudul lainnya. Misalnya subjudul kakek misterius mempunyai keterkaitan dengan subjudul akar masalah.

Persinggungan antara dunia fiksi postmodern dengan fiksi fantasi
Pandangan dunia yang melihat bahwa antara teks yang satu dengan yang lain bisa saling melintas juga menjadi dasar bagi terjadinya persinggungan antara fiksi postmodern dengan fikksi fantasi. Hal itu bisa terjadi karena sebagaimana persinggungan antara fiksi postmodernis dengan fiksi ilmiah, yang dominan pada kedua jenis fiksi tersebut adalah sifat ontologisnya. Fiksi fantastic dikatakan memiliki sifrah at ontologism yang dominan karena didalamnya terjadi konfrontasi ontologism antara dunia normal, sehari-hari dengan dunia paranormal, supernatural.
·         Kebanalan
Cerita pada novel ini bnayak mengandung unsur kebanalan atau konsep diluar nalar. Misalnya konsep golok yang bisa terbang.

2.  Kontruksi
Kontruksi di sini terjadi pada tokoh badai yang menjadi sosok pemimpin atau berkuasa pada cerita ini. Karena badai mampu mngalahkan penjahat dan memiliki kesaktian yang luar biasa. Dan di cerita ini tokoh badai adalah satu tokoh yang mendapatkan kitab serat cikadeun.
3.   Kata-kata
Pada novel ini, tidak ada unsur permainan kata-kata. Karena pada cerita ini semua kata-kata tidak ada yang dilebih-lebihkan dan bahasa yang di gunakan mudah dipahami atau dimengerti tanpa harus berulang-ulang membacanya.
4.   Pendasaran
Strategi pengedepanan, epistemologi di sini bagaimana menceritakan tentang asal-usul daerah Labuan. Dan asal usul konflik yang terjadi pada cerita ini.

Unsur Sejarah yang Terdapat dalam Novel Jawara Angkara Di Bumi Krakatau
          Bila kita mendengar kata “Banten” apa yang muncul dalam benak kita? Mungkin jawabannya beragam, namun Jawara dan Debus lah yang paling banyak muncul dari beragam anggapan yang ada. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang mengherankan karena Jawara merupakan entitas yang tidak bisa dipisahkan dari masyarkat Banten.
          Jawara, bagi orang Banten istilah tersebut sudah tidak asing lagi. Suatu kasta dalam masyarakat Banten tersebut dulunya merupakan sebutan bagi para santri yang khusus dibekali kemampuan beladiri atau kanuragan guna melindungi para kyai dalam menyebarkan syiar Islam. Namun, sebutan jawara tersebut kini bergeser menjadi sebutan bagi mereka yang menguasai ilmu beladiri khas Banten.

Penutup
Novel prahara di bumi banten sangatlah jelas bahwa novel ini termasuk dalam novel yang beraliran posmodernisme karena dari empat konsep mchale, novel ini terdapat tiga konsep mchale yaitu dunia-dunia, pada cerita ini unsure-unsur dari duni-dunia yaitu adanya cerita berbingkai, strategi penyisipan, strategi intertekstual, persinggungan antra fiksi dan modern dan kebanalan,  kontruksi, dimana pada novel ini sangat jelas bagaiman badai menjadi satu tokoh yang sakti dan bisa mendapatkan kitab cikadeun, pendasaran, dimana epistemologi sangat terlihat dari pertama cerita ini di baca.








Daftar Pustaka
Zam, Fatih. 2012. Jawara, Angkara di Bumi Krakatau. Solo : Tiga Serangkai
McHale, Brian. 2004. Postmodernist Fiction. Methuen.


1 komentar: