Rembulan
malam itu melukis sunyi. Angin berdesir menyerap embun, sementara aku masih
termenung diantara selimut gulita yang kini mulai mmendekapku. Aku kehilangan
arah ketika memandang rembulan yang kini tak tampakkan senyumnya
“Rembulan
kenapa kau begitu mendung malam ini?”
Rembulan
tetap saja membisu, tanpa sepatah katapun terlontar dari daun bibirnya. Ilalang
dari kejauhan berdesis pelan seperti menyiratkan luka yang begitu dalam. Aku
menatap rembulan yang kini bersembunyi di balik awan tanpa sepotong senyumpun
yang dipancarkannya.
Aku
bingung dengan rembulan semenjak awal bulan april tahun lalu ia menjadi murung.
Bahkan usahaku menghiburnya tetap tidak mengubah kesedihannya.
Di atas ayunan itu hampir setiap malam aku
harus menatap rembulan dengan perasaan haru yang tak tertahankan.
Aku
tahu luka yang menembus di dada Rembulan adalah luka yang tak terobatkan,
bahkan oleh Ibu baru sekalipun. Aku juga tahu, Rembulan tidak akan mudah menerima
orang baru di sisinya.
Apalagi
Tiara, ah……………. Wanita itu memang seorang bidadari. Ia selalu dapat mengukir
senyum di wajah rembulan. Ia selalu mampu membuat rembulan menjadi cerah dalam
malam-malamnya, di setiap mimpi-mimpinya.
Aku
mengerti selama ini aku kurang memperhatikan Rembulan karena aku selalu
menganggap kehadiran sosok Tiara sudah cukup bagi Rembulan yang menerangi
bahtera rumah tanggaku. Aku sangat yakin aku akan merawat Rembulan dengan baik,
aku akan selalu merawat cahayanya agar selalu terangi hidupku setiap hari.
Karena kebahagiaannya adalahkebahagiaanku juga.
Ternyata
dugaanku selama ini salah. Dan sekarang rembulan itu murung, rembulan itu
tampak kusam. “Apakah kau melihatku Tiara? Apakah kau mendengarku Tiara?”.
Lihatlah rembulan, ia kini tak bercahaya lagi, ia sekarang murung, bahkan untuk
menerangikupun ia tak tahu.
“Rembulan
aku tahu kau sedih karena ditinggal Ibu yang sangat menyayangimu, karena dialah
satu-satunya orang yang paling dekat dan mengerti kamu. Tapi tolong jangan
siksa ayah seperti ini, meski dulu ayah kurang memperhatikanmu karena kesibukan
ayah kerja tapi ayah snagat menyayangimu”.
Namun
Rembulan menatapku tanpa cahaya dan aku selalu memandangnya degan penuh tanda
Tanya. Dalam wajah polo situ. Dalam wajah rembulan yang mungil itu, aku tak
mampu membaca abjad-abjad yang tertulis di setiap raut wajahnya.
Walapun
kini telah satu tahun kepergianmu Tiara.
Rembulan masih saja bisu, yang dia hanya lakukan adalah menantimu dengan
duduk di ayunan setiap malam. Dan hamper setiap malam itulah aku menatapnya
tanpa cahaya bersinar diraut wajah mungilnya sedikitpun.
Andai
saja aku ada ketika malam menyedihkan itu. Andai saja aku bias menjagamu dan
menemanimu saat itu, aku tahu saat itu kesehatanmu sedang labilkarena kanker
yang diderita olehmu sdah cukup parah dan Rembulanpun menangis ketika aku
dating keesokan pagiya ke rumah sakit. Aku tak tahu apa sebabnya. Ketika itu
pula semua wajah keluargamu menatapku denganwajah sedih dan air mata, aku makin
bingung. Aku tak mengerti mengapa semuanya ada di sini, dan kenapa semuanya dihiasi
air mata.
Aku
baru mengerti ketika melihat wajahmu telah putih pucat dengan Rembulan yang
memelukmu di sampngmu sambil menangis tanpa henti. “Argh……………kenapa ini mesti
terjadi padamu Tiara padahal kita sudah berjanji untuk merawat Rembulan
bersama-sama”. Sejak saat itu pula aku tak melihat cahaya yang dipancarkan sang
Rembulan, bahkan pada malam-malam selanjutnya. Aku telah menghiburnya eperti
engkau mengukir senyum di wajahnya. Tapi ia masih tetap saja redup, bahkan
ditidurnyapun ia tampak muram. Aku tak tahu lagi yang harus aku lakukan agar ia
bias bersinar. “jika kau mendengarku tolonglah aku”.
Kini
dalam mimpinyapun namamulah yang selalu disebut-sebut olehnya. Namamu begitu
kekal di hatinya. Namamu adalah pelita baginya. Tiara, malam-malam Rembulan
adalah malam yang menyedihkan. Aku lihat awan selalu kelabu, kulihat bintang
tak lagi terang. Kupandangi ilalang ia hanya bias mendesis kesedihan. Entahlah
semuanya seakan menjadi sedih di mataku.
Di
suatu malam………..
Cahayanya
kembali bersinar……
“Ayah!!!
Ayah!!! Lihat ibu yah, lihat! Ibu bisa terbang, dia pakai selendang. Dia juga
jadi bidadari yah.”
Aku
terperanjak mendengar teriakan Rembulan ari ayunannya. Dengan tergopoh-gopoh
aku menghampirinya.
“Lihat
ibu yah!!! Dia jadi bidadari, ibu terbang dengan selendangnya”.
Aku
menatap dimana jari-jari mungil itu mengarah. Hanya ada kekosongan belaka.
Hanya ada Rembulan bersinar terang dan tidak lagi disembunyikan oleh kabut
hitam. Aku menatap rembulan itu dengan senyuman. Dia tak lagi terbalut dalam kesedihannya.
“Tiara
apakah kau mendengarku? Terimakasih telah membuat rembulan kita kembali
bersinar, aku janji akan selalu menjaganya sebagaimana engkau menjaga dia.” [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar