Jumat, 22 Mei 2015

REMBULAN DI BULAN APRIL





Rembulan malam itu melukis sunyi. Angin berdesir menyerap embun, sementara aku masih termenung diantara selimut gulita yang kini mulai mmendekapku. Aku kehilangan arah ketika memandang rembulan yang kini tak tampakkan senyumnya
“Rembulan kenapa kau begitu mendung malam ini?”
Rembulan tetap saja membisu, tanpa sepatah katapun terlontar dari daun bibirnya. Ilalang dari kejauhan berdesis pelan seperti menyiratkan luka yang begitu dalam. Aku menatap rembulan yang kini bersembunyi di balik awan tanpa sepotong senyumpun yang dipancarkannya.
Aku bingung dengan rembulan semenjak awal bulan april tahun lalu ia menjadi murung. Bahkan usahaku menghiburnya tetap tidak mengubah kesedihannya.
 Di atas ayunan itu hampir setiap malam aku harus menatap rembulan dengan perasaan haru yang tak tertahankan.
Aku tahu luka yang menembus di dada Rembulan adalah luka yang tak terobatkan, bahkan oleh Ibu baru sekalipun. Aku juga tahu, Rembulan tidak akan mudah menerima orang baru di sisinya.
Apalagi Tiara, ah……………. Wanita itu memang seorang bidadari. Ia selalu dapat mengukir senyum di wajah rembulan. Ia selalu mampu membuat rembulan menjadi cerah dalam malam-malamnya, di setiap mimpi-mimpinya.
Aku mengerti selama ini aku kurang memperhatikan Rembulan karena aku selalu menganggap kehadiran sosok Tiara sudah cukup bagi Rembulan yang menerangi bahtera rumah tanggaku. Aku sangat yakin aku akan merawat Rembulan dengan baik, aku akan selalu merawat cahayanya agar selalu terangi hidupku setiap hari. Karena kebahagiaannya adalahkebahagiaanku juga.
Ternyata dugaanku selama ini salah. Dan sekarang rembulan itu murung, rembulan itu tampak kusam. “Apakah kau melihatku Tiara? Apakah kau mendengarku Tiara?”. Lihatlah rembulan, ia kini tak bercahaya lagi, ia sekarang murung, bahkan untuk menerangikupun ia tak tahu.
“Rembulan aku tahu kau sedih karena ditinggal Ibu yang sangat menyayangimu, karena dialah satu-satunya orang yang paling dekat dan mengerti kamu. Tapi tolong jangan siksa ayah seperti ini, meski dulu ayah kurang memperhatikanmu karena kesibukan ayah kerja tapi ayah snagat menyayangimu”.
Namun Rembulan menatapku tanpa cahaya dan aku selalu memandangnya degan penuh tanda Tanya. Dalam wajah polo situ. Dalam wajah rembulan yang mungil itu, aku tak mampu membaca abjad-abjad yang tertulis di setiap raut wajahnya.
Walapun kini telah satu tahun kepergianmu Tiara.  Rembulan masih saja bisu, yang dia hanya lakukan adalah menantimu dengan duduk di ayunan setiap malam. Dan hamper setiap malam itulah aku menatapnya tanpa cahaya bersinar diraut wajah mungilnya sedikitpun.
Andai saja aku ada ketika malam menyedihkan itu. Andai saja aku bias menjagamu dan menemanimu saat itu, aku tahu saat itu kesehatanmu sedang labilkarena kanker yang diderita olehmu sdah cukup parah dan Rembulanpun menangis ketika aku dating keesokan pagiya ke rumah sakit. Aku tak tahu apa sebabnya. Ketika itu pula semua wajah keluargamu menatapku denganwajah sedih dan air mata, aku makin bingung. Aku tak mengerti mengapa semuanya ada di sini, dan kenapa semuanya dihiasi air mata.
Aku baru mengerti ketika melihat wajahmu telah putih pucat dengan Rembulan yang memelukmu di sampngmu sambil menangis tanpa henti. “Argh……………kenapa ini mesti terjadi padamu Tiara padahal kita sudah berjanji untuk merawat Rembulan bersama-sama”. Sejak saat itu pula aku tak melihat cahaya yang dipancarkan sang Rembulan, bahkan pada malam-malam selanjutnya. Aku telah menghiburnya eperti engkau mengukir senyum di wajahnya. Tapi ia masih tetap saja redup, bahkan ditidurnyapun ia tampak muram. Aku tak tahu lagi yang harus aku lakukan agar ia bias bersinar. “jika kau mendengarku tolonglah aku”.
Kini dalam mimpinyapun namamulah yang selalu disebut-sebut olehnya. Namamu begitu kekal di hatinya. Namamu adalah pelita baginya. Tiara, malam-malam Rembulan adalah malam yang menyedihkan. Aku lihat awan selalu kelabu, kulihat bintang tak lagi terang. Kupandangi ilalang ia hanya bias mendesis kesedihan. Entahlah semuanya seakan menjadi sedih di mataku.
Di suatu malam………..
Cahayanya kembali bersinar……
“Ayah!!! Ayah!!! Lihat ibu yah, lihat! Ibu bisa terbang, dia pakai selendang. Dia juga jadi bidadari yah.”
Aku terperanjak mendengar teriakan Rembulan ari ayunannya. Dengan tergopoh-gopoh aku menghampirinya.
“Lihat ibu yah!!! Dia jadi bidadari, ibu terbang dengan selendangnya”.
Aku menatap dimana jari-jari mungil itu mengarah. Hanya ada kekosongan belaka. Hanya ada Rembulan bersinar terang dan tidak lagi disembunyikan oleh kabut hitam. Aku menatap rembulan itu dengan senyuman. Dia tak lagi  terbalut dalam kesedihannya.
“Tiara apakah kau mendengarku? Terimakasih telah membuat rembulan kita kembali bersinar, aku janji akan selalu menjaganya sebagaimana engkau menjaga dia.” [ ]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar