NAMA : ARI SULISTIARI
NIM : 2222112335
KELAS : 3D (
DIKSATRASIA )/ UNTIRTA
MATA KULIAH :
PROSA FIKSI
PRIA TUA PENCARI ARTI
KEHIDUPAN
Pada pertemuan kali ini saya
ditugaskan untuk membaca novel yang berjudul Khotbah Di Atas Bukit karya
Kuntowijoyo. Novel ini mengisahkan
kehidupan Barman (lelaki tua yang sudah pensiun) yang berlibur ke gunung
(villa) bersama seorang gadis muda yang bernama Popi. Liburan itu menjadi
bermakna dan merupakan pencarian hakekat hidup dan perburuan spiritual yang
indah baginya. Novel ini menurut saya sangat personal dari Alm. Kuntowijoyo, dari cara penuturannya benar-benar berisikan
kegundahan dari si penulis, sehingga harapan untuk melihat plot dan karakter
tidak akan terlalu terlihat seperti novel pada umumnya. Jujur saja, butuh
kesabaran dan perjuangan yang ekstra ketika saya membacanya, karena selain
alurnya sangat lambat saya juga belum menemukan sesuatu kejadian yang luar
biasa dalam novel ini. Mungkin hal ini
karena saya sendiri sebenarnya lebih sering membaca novel dengan sistem alur,
plot dan karakter yang pas. Dalam novel
ini diceritakan bagaimana seorang kakek yang sudah pensiun dari pekerjaannya
dan pekerjaannya diteruskan oleh sosok Bobi (anak laki-laki Barman). Dalam
novel ini terdapat amanat yang sangat kuat, dimana sosok Popi menunjukan
kesetiaannya kepada Barman hingga akhir hayat datang menjemput Barman. Mungkin
kesetiaan yang dimiliki tokoh Popi ini sulit di temukan pada saat ini, meskipun
seorang Popi ini bukan sosok seseorang yang suci tetapi sosok Popi ini yang
memberikan semangat untuk hidup kepada Barman, dia setia pada sosok seorang
Barman yang tua, meskipun kadang diatas ranjang seorang Barman tua sering
mengecewakannya, tetapi Popi sabar menghadapinya karena pada novel disebutkan
bahwa ia telah mengambil keputusan untuk setia menemani serta memliharanya.
Kemudian dalam novel ini disebut tokoh yang bernama Humam, Humam ini merupakan
sosok misterius dimana ia muncul sewaktu pagi hari dimani embun-embun pagi
masih menggelayut indah di ujung-ujung daun serta kabut pagi yang masih setia
memluk riuhnya pohon-pohon cemara, pada saat itu sosok Humam ini muncul
dibelakang Barman, kemudian menghilang tanpa jejak tertelan kabut-kabut pagi.
Nah atas kemisteriusannya inilah yang membuat Barman tertarik pada seorang pria
yang berumur sebaya dengannya ini. Denagn rasa penasarannya inilah kemudian
Barman tua melangkahkan kakinya untuk mencari rumah orang tadi. kemudian Barman
melihan dan menuju kesubuah rumah yang berada pada sebuah bukit, rumah itu
sangat tak terurus kotor, berantakan, sarang laba-laba dimana-mana lantai
kotor. karena saking kelelahannya Barman tua pun masuk dan beristirahat didalam
rumah itu hingga ia tertidur. Karena rasa kepenasarannya inilah Barman
menemukan seorang sahabat. Seorang sahabat yang memberikan sedikit pencerahan tentang arti hidup,
sebelum pada akhirnya sang sahabat itu meninggal dalam kesendirian tetapi
tersimbul senyum kebahagiaan.
Satu hal yang membuatnya kagum terhadap sahabatnya itu ialah bahwa di dalam kesunyian dan kesendirian, ada kebebasan dan kebahagiaan. Sedangkan dirinya meski telah diberikan popy yang cantik tetapi seakan-akan justru dia terbelenggu oleh aturan-aturan keduniawiaan.
Pada akhirnya di atas bukit, di berkhutbah tetang hakekat kehidupan, seperti kutiban dalam novel
Satu hal yang membuatnya kagum terhadap sahabatnya itu ialah bahwa di dalam kesunyian dan kesendirian, ada kebebasan dan kebahagiaan. Sedangkan dirinya meski telah diberikan popy yang cantik tetapi seakan-akan justru dia terbelenggu oleh aturan-aturan keduniawiaan.
Pada akhirnya di atas bukit, di berkhutbah tetang hakekat kehidupan, seperti kutiban dalam novel
“Ini khotbahku,”
katanya. Puncak itu hening. Suara angin yang
meniup pakaian-pakaian, pohon dan barangkali rumput yang menggeliat. Tidak ada
gerak-gerak. Kaki-kaki terpaku. Mulut bungkam. Dan kuda putih itu berdiri
tegap, menahan tubuh Barman....”Hidup ini tak berharga untuk dilanjutkan!”
Kalimat itu diucapkan dengan hampir menjerit. Sebuah teriakan,
laki-laki tua yang serak dan menyayat. Orang-orang terpukau.... “Bunuhlah
dirimu!” seru Barman. Bunuhlah dirimu. Mereka mengulang dalam batin. Kabut itu
menebal, mereka lupa di mana sekarang mereka berdiri.” (hlm.232-233)
Setelah berkhotbah itu Barman terjatuh ke dalam jurang
karena kabut tebal yang menutupinya itu tak memberikan peluang Barman dan yang
lainnya untuk melihat. Barman terjatuh dan meninggal. Seperti yang digambarkan
dalan cerita berikut,
“Tiba-tiba mereka berhenti. Kabut itu tersibak oleh angin.
Dan remang-remang menjelma. Ada ringkik kuda yang dahsyat. Kemudian seolah kuda
terbang. Suara kemerosok ke bawah. Mereka tercengan. Menggosok-gosok mata yang
memedas. Penjaga malam itu berteriak: “O, ke manakah, Bapak!” mereka menyadari
Barman dan kuda itu tak ada lagi. Sekilas mereka mengenangkan kuda putih yang
terbang. Dan kabut itu pun kembali.” (hlm. 234).
Setelah kejadian itu semua orang bersedih atas
kepergiaan sosok Barman. Mereka
merasa
kehilangan
sosok yang begitu mereka kagumi. Sosok yang mereka panuti dan
keberadaannya sangat dinanti. Stelah kepergian Barman, semua orang membuat
persepsi yang salah terhadap kematian Barman. Ia terjatuh, bukan bunuh diri.
Tetapi banyak yang mengira bahwa ia bunuh diri. Mereka mengikuti Barman dengan cara
bunuh diri. Yang saya tidak habis fikir mengapa mereka yang mendengarkan
khotbah dari barman tadi ikut mati dengan cara bunuh diri?
Barman
tua yang tadinya pergi kepuncak hanya untuk bertamasya dan melepaskan kepenatan
di kota setelah masa pensiunnya, kini telah menjadi panutan bagi para warga
pasar yang berada di bukit itu,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar