(Telaah Atas Pemikiran Ferdinand De Saussure) Sebagai makhluk
yang hidup di dalam masyarakat dan selalu melakukan interaksi dengan masyarakat
lainnya tentu membutuhkan suatu alat komunikasi agar bisa saling memahami
tentang suatu hal. Apa yang perlu dipahami? Banyak hal salah satunya adalah
tanda. Supaya tanda itu bisa dipahami secara benar dan sama membutuhkan konsep
yang sama supaya tidak terjadi
misunderstanding atau salah pengertian. Namun pada kenyataannya tanda itu tidak
selamanya bisa dipahami secara benar dan sama di antara masyarakat. Setiap
orang memiliki interpretasi makna tersendiri dan tentu saja dengan berbagai
alasan
yang melatar belakanginya. Ilmu yang membahas tentang tanda
disebut semiotik (the study of signs). Masyarakat selalu bertanya apa yang
dimaksud dengan tanda? Banyak tanda dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti tanda-tanda
lalu lintas, tanda-tanda adanya suatu peristiwa atau tanda-tanda lainnya.
Semiotik meliputi studi seluruh tanda-tanda tersebut sehingga masyarakat
berasumsi bahwa semiotic hanya meliputi tanda-tanda visual (visual sign). Awal
mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui
dikotomi system tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant
yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada
hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’
(signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu
bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan
kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.
Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau
didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental,
pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens,
2001:180). 1. Tanda (Petanda dan Penanda) Saussure berpendapat bahwa elemen
dasar bahasa adalah tanda-tanda linguistic atau tanda-tanda kebahasaan, yang biasa
disebut juga ‘kata-kata’. Tanda menurut Saussure merupakan kesatuan dari
penanda dan petanda. Walaupun penanda dan petanda tampak sebagai entitas yang
terpisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen dari tanda. Tandalah yang
merupakan fakta dasar dari bahasa. Artinya kedua hal dari tanda itu tidak dapat
dipisahkan. jika pemisahan berlaku maka hanya akan menghancurkan ‘kata’
tersebut. Selanjutnya tanda kebahasaan menurut Saussure bersifat arbitrair,
atau semena- mena. Artinya tidak ada hubungan alami dari petanda dan penanda. Sebagai
contoh tentang ini bahwa orang tidak dapat mengerti mengapa hewan yang selalu
digunakan sebagai kendaraan tunggangan tersebut bernama ‘kuda’, atau orang jawa
katakan sebagai ‘jaran’. Tanda kebahasaan tersebut tidak dapat dipikirkan
sebabnya, tetapi semua orang dapat mengerti bahwa itu ‘kuda’, atau ‘jaran’,
tanpa harus memperdebatkannya. Inilah semena- mena yang lalu tersepakati tanpa kesepakatan
formal. 2. Langage, Langue, dan Parole a. Langage Langage adalah gabungan
antara parole dan langue (gabungan antara peristiwa dengan kaidah bahasa atau
tata bahasa, atau struktur bahasa). Menurut Saussure, langage tidak memenuhi
syarat sebagai fakta sosial karena di dalam langage ada faktor-faktor bahasa
individu yang berasal dari pribadi penutur. Bahkan langage tidak memiliki
prinsip keutuhan yang memungkinkan kita untuk menelitinya secara ilmiah.
Langage mencakup apapun yang diungkapkan serta kendala yang mencegahnya dalam mengungkapkan
hal-hal yang tak gramatikal. Contohnya, kata materiil. Kata ini memang serta
sosial banyak digunakan bahkan seolah-olah dianggap sebagai bahasa konvesional.
Padahal,
kata “materiil” tidaklah baku, tidak sesuai dengan ejaan yang
telah disempurnakan (EYD). Langage memiliki segi individual (parole) dan segi social
(langue) tetapi kita tidak dapat menelaah yang satu tanpa yang lain. Dengan demikian,
langage memiliki multi bentuk dan heteroklit; dan psikis. b. Langue adalah
bahasa konvensional, bahasa yang sesuai ejaan yang telah disempurnakan, bahasa
yang mengikuti tata aturan baku bahasa. Lebih jauh Saussure mengatakan bahwa
langue merupakan keseluruhan kebiasaan (kata) yang diperoleh secara pasif yang diajarkan
dalam masyarakat bahasa,
yang memungkinkan para penutur saling memahami dan
menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dan masyarakat. Langue
bersenyawa dengan kehidupan masyarakat secara alami. Jadi, masyarakat merupakan
pihak pelestari langue. Dalam langue terdapat batas-batas negatif (misalnya,
tunduk pada kaidah-kaidah bahasa, solidaritas, asosiatif dan sintagmatif)
terhadap apa yang harus dikatakannya bila seseorang mempergunakan suatu bahasa
secara gramatikal. Langue merupakan sejenis
kode, suatu aljabar atau sistem nilai yang murni. Langue
adalah perangkat konvensi yang kita terima, siap pakai, dari penutur-penurut
terdahulu. Langue telah dan dapat diteliti; langue juga bersifat konkret karena
merupakan perangkat tanda bahasa yang disepakati secara kolektif. Nah, tanda
bahasa tersebut dapat menjadi lambang tulisan yang konvensional. Tujuan linguistic
adalah mencari sistem (langue) struktur dari kenyataan yang konkret (parole). Ajaran
ini menjadi dasar pendekatan strukturalis. Kata struktur pertama kali diucapkan
oleh Jean Piaget: struktur adalah suatu tatanan wujud-wujud yang mencakup
keutuhan, transformasi (dinamis) dan pengaturan diri ; dikatakan “keutuhan”
karena tatanan wujud itu bukan kumpulan semata melainkan karena tiap-tiap
komponen struktur itu tunduk pada kaidah-kaidah intrinsik dan tidak mempunyai keberadaan
bebas di luar struktur. Langue tidak bisa dipisahkan antara bunyi dan gerak
mulut. Langue juga dapat berupa lambang-lambang bahasa konkret; tulisan-tulisan
yang terindra dan teraba (terutama bagi tuna runggu). Langue adalah suatu
sistem tanda yang mengungkapkan gagasan. Contoh: pergi! Dalam kata ini, gagasan
kita adalah ingin mengusir, menyuruh, Nah, kata pergi!, dapat juga kita
ungkapkan kepada tuna runggu dengan abjad tuna runggu, atau dengan simbol atau
dengan tanda-tanda militer. Langue seperti permainan catur, kalau saya kurangi buah
catur, akan berubah dan bahkan permainan akan kacau; demikian halnya dalam
langue, jika struktur (sistem) kita ubah, maka akan kacau balau juga. Misalnya:
saya makan nasi, jika kalimat ini saya ubah menjadi: makan nasi saya, kelihatannya
kalimat tersebut, janggal. c. Parole adalah bahasa tuturan, bahasa sehari-hari.
Singkatnya, parole adalah keseluruhan dari apa yang diajarkan orang temasuk
konstruksi-konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur, dan
pengucapan- pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan konstruksi-konstruksi
ini berdasarkan pilihan bebas juga. Parole merupakan manifestasi individu dari
bahasa. Bahasa parole misalnya, gue kan ga suka cara kayak gitu, loo emangnya siape?,
dst. Jadi, parole adalah dialek. Parole bukan fakta sosial karena seluruhnya
merupakan hasil individu yang sadar, termasuk kata apapun yang diucapkan oleh
penutur; ia juga bersifat heterogen dan tak dapat diteliti. 3. Syntagmatic dan
Assosiative (Paradigmatik). Setiap mata rantai dalam rangkaian wicara mengingatkan
orang pada satuan bahasa lain. Dan, karena satuan itu berbeda dari yang lain dalam
bentuk dan makna, inilah yang disebut hubungan asosiatif atau paradigmatis.
Hubungan asosiatif juga disebut in absentia, karena butir-butir yang
dihubungkan itu ada yang muncul, ada yang tidak dalam ujaran. Asosiataif bersifat
psikis: bisa berbicara dengan diri sendiri tanpa mengamati bibir dan geraknya
ketika seseorang berbicara. Contoh hubungan asosiatif dalam kehidupan
sehari-hari adalah terdapat dalam kata burung. Kata “burung” ini bisa
diasosiasikan sebagai alat kelamin laki-laki. Jadi, asosiasi mengandung makna
konotasi. Asosiasi berarti juga ada unsur yang sama dalam pembentukkannya,
misalnya: ships dapat diasosiasikan dengan birds, flags, dst. Dix-neuf
(sembilan belas) secara asosiasi solider dengan dix-huit (delapan belas) dan
soixante (tujuh puluh), dan sebagainya, dan secara sintagmatis, solider dengan
unsur-unsurnya yaitu dix (sepuluh) dan neuf (sembilan). Hubungan ganda itulah
yang
memberinya sebagian dari valensinya; dan solidaritas inilah
yang membatasi kesemenaan. Sedangkan hubungan- hubungan sintagmatis adalah
hubungan di antara mata rantai dalam suatu rangkaian ujaran. Hubungan
sintagmatis disebut juga hubungan in praesentia karena butir-butir yang dihubungkan
itu ada bersama wicara. Dalam wacana, kata-kata bersatu demi kesinambungan, hubungan
yang didasari oleh sifat langue yang linear, yang meniadakan kemungkinan untuk
melafalkan dua unsur sekaligus. Penutup Semua kenyataan cultural adalah tanda.
Kita memang hidup di dunia yang penuh dengan tanda dan diri kitapun bagian dari
tanda itu sendiri. Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam
memahami kehidupan. Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi
dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut
adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan
lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar