New criticism merupakan aliran kritik sastra di
Amerika Serikat yang berkembang antara tahun 1920-1960. Istilah new criticism
pertama kali dikemukakan oleh John Crowe Ransom dalam bukunya The New Criticism
(1940) dan ditopang oleh I.A. Richard dan T.S. Eliot. Sejak Cleanth Brooks dan
Robert Penn Warren menerbitkan buku Understanding Poetry (1938), model kritik
sastra ini mendapat perhatian yang luas di kalangan akademisi dan pelajar
Amerika selama dua dekade. Penulis new criticism lainnya yang penting adalah:
Allen Tate, R.P. Blackmur, dan William K. Wimsatt, Jr. (Abrams, 1981: 109-110).
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap kritik sastra sebelumnya yang terlalu
fokus pada aspek-aspek kehidupan dan psikologi pengarang serta sejarah sastra.
Para new criticism menuduh ilmu dan teknologi menghilangkan nilai
perikemanusiaan dari masyarakat dan menjadikannya berat sebelah. Manurut
mereka, ilmu tidak memadai dalam mencerminkan kehidupan manusia. Sastra dan
terutama puisi merupakan suatu jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan lewat
pengalaman. Tugas kritik sastra adalah memperlihatkan dan memelihara
pengetahuan yang khas, unik dan lengkap seperti yang ditawarkan kepada kita
oleh sastra agung (Van Luxemburg dkk, 1988: 52-54).
Sekalipun para new criticism tidak selalu kompak, mereka sepakat dalam memandang karya sastra sebagai sebuah kesatuan organik yang telah selesai, sebuah gejala estetik yang telah melepaskan kondisi subjektifnya pada saat karya itu diselesaikan. Hanya dengan menganalisis susunan dan organisasi sebuah karya sastra, dapat diperlihatkan inti karya seni itu menurut arti yang sesungguhnya. Menurut T.S. Eliot, sebuah puisi pertama-tama adalah puisi, bukan sesuatu yang lain, suatu objek yang otonom dan lengkap.
Sekalipun para new criticism tidak selalu kompak, mereka sepakat dalam memandang karya sastra sebagai sebuah kesatuan organik yang telah selesai, sebuah gejala estetik yang telah melepaskan kondisi subjektifnya pada saat karya itu diselesaikan. Hanya dengan menganalisis susunan dan organisasi sebuah karya sastra, dapat diperlihatkan inti karya seni itu menurut arti yang sesungguhnya. Menurut T.S. Eliot, sebuah puisi pertama-tama adalah puisi, bukan sesuatu yang lain, suatu objek yang otonom dan lengkap.
Para new criticism menganggap berbagai model kritik yang
berorientasi kepada aspek-aspek di luar karya sastra sebagai suatu kesalahan
besar. Orientasi kepada maksud pengarang disebut sebagai suatu penalaran yang
sesat. Makna sebuah puisi juga jangan dikacaukan dengan kesan yang diperoleh
pembaca karena kita dapat terjerumus dalam struktur sintaksis dan semantiknya.
Untuk mengetahui arti itu kita harus mempergunakan pengetahuan kita mengenai
bahasa dan sastra. Sejauh hidup pengarangnya dapat dipergunakan sejauh dapat
menerangkan makna kata kata khusus yang dipergunakan dalam karyanya. Selain
itu, pemahaman terhadap konteks penggunaan bahasa sangat ditekankan.
Menurut mereka, komponen dasar karya sastra, baik lirik,
naratif, maupun dramatik adalah kata-kata, citraan/imagi, dan simbol-simbol,
bukan watak, pemikiran ataupun plot. Elemen-elemen linguistik ini sudah
diorganisasikan di seputar sebuah tema sentral dan mengandung tensi atau
maksud, ironi dan paradoks dalam strukturnya yang merupakan muara pertemuan
berbagai impuls dan kekuatan yang berlawanan. Pandangan-pandangan kaun new
critics, bagaimanapun tetap berguna karena mermpertajam pengertian kita
terhadap puisi yang terkadang sukar dipahami. Meskipun demikian, pendangan
mereka terlalu mengutamakan puisi daripada jenis sastra lainnya menyebabkan
teori sastra mereka dipandang kurang utuh. Mereka juga menyadari bahwa tidak
hanya the words on the page yang mengemudikan tafsiran mereka melainkan juga
cita-cita dan praduga-praduga mereka telah ikut berperan di dalamnya (Van Luxemburg
dkk. 1986: 54).
Cara Kerja New Criticism
Cara Kerja New Criticism
Kendati pemikir dan praktisi new criticism banyak, dan
diantara mereka pasti ada silang pendapat, pada hakikatnya cara kerja mereka
sama, yaitu:
1. Close reading
Yakni mencermati karya sastra dengan
teliti dan mendetailkalau perlu baris demi baris, kata demi kata, dan kalau
perlu sampai ke akarakar katanya. Tanpa close reading, bagian-bagian kecil
puisi munkin akan terlepas dari pengamatan, padahal, semua bagian, sekecil apa
pun, akan merupakan bagian yang tidak munkin dipisahkan dari puisi yang
wellwrought. Begitu sebuah detail puisi ditemukan tidak mempunyai makna dan
tidak mempunyai fungsi, maka mutu estetika puisi ini tidak mungkin dijamin.
2. Empiris
Yakni penekanan analisis, ada
observasi, bukan pada teori. Tokohtokoh new criticism memang pernah menyatakan
bahwa new criticism adalah sebuah teori satra, namun karena new criticism
mempunyai cara kerja sistematis sebagiamana halnya para teori-teori satra lain,
maka new criticism mau tidak mau diakui sebagai sebuah teori sastra. Dalam
sejarah teori dan kritik sastra, new criticism selalu menempati urutan pertama.
3. Otonomi
a. Karya satra
adalah sesuatu yang mandiri dan berdiri sendiri, tidak tergantung pada
unsur-unsur lain, termasuk kepada penyair/penulisnya sendiri
b. Kajian satra
adalah sebuah kajian yang mandiri dan berdiri sendiri, tidak tergantung pada
kajian-kajian lain, seperti sejarah, filsafat, biografi, psikologi, dan
sebagainya.
Otonomi merupakan ciri khas mutlak kajian
inrinsik. Kendati teori-teori berikut tidak tertutup kemungkinan untuk
mempertimbangkan unsur ekstrinsik karya sastra, setiap kajian tidak mungkin
lepas dari nilai-nilai intrinsik karya sastra itu sendiri. Karena itulah, new
criticism tetap hidup, masuk ke berbagai teori lain, kendati secara resmisudah
tutup buku pada tahun 1960-an.
Salah satu pengaruh new criticism pada teori sastra dapat dilihat misalnya pada formalisme rusia dan strukturalisme. Kedua teori ini mengambil gagasan otonomi new criticism kendati salah satu ciri penting strukturalisme adalah kajian-kajian ekstrinsiknya. Meskipun demikian, dapat diperkirakan dengan tepat bahwa tanpa rintisan new criticism maka formalisme rusia dan strukturalisme akan lahir terlambat, dan mungkin pula akan berbeda dengan formalisme rusia dan struktualisme sekarang.
Salah satu pengaruh new criticism pada teori sastra dapat dilihat misalnya pada formalisme rusia dan strukturalisme. Kedua teori ini mengambil gagasan otonomi new criticism kendati salah satu ciri penting strukturalisme adalah kajian-kajian ekstrinsiknya. Meskipun demikian, dapat diperkirakan dengan tepat bahwa tanpa rintisan new criticism maka formalisme rusia dan strukturalisme akan lahir terlambat, dan mungkin pula akan berbeda dengan formalisme rusia dan struktualisme sekarang.
4. Concreteness
Apabila karya sastra dibaca, maka karya satra menjadi concrete atau hidup. Dalam sajak penyair romantik jhon keats, “ode to melancholy”, misalnya, baris then glut thy sorrow on a morning terasa benar-benar hidup. Kata glut menimbulkan kesan kerakusan yang benar-benar concrete. Sebagaimana halnya konsep otonomi, maka concreteness new criticism juga diambil oleh formalisme Rusia dan strukturalisme.
Apabila karya sastra dibaca, maka karya satra menjadi concrete atau hidup. Dalam sajak penyair romantik jhon keats, “ode to melancholy”, misalnya, baris then glut thy sorrow on a morning terasa benar-benar hidup. Kata glut menimbulkan kesan kerakusan yang benar-benar concrete. Sebagaimana halnya konsep otonomi, maka concreteness new criticism juga diambil oleh formalisme Rusia dan strukturalisme.
5. Bentuk (form)
Titik berat kajian new criticism adalah bentuk (form) karya
sastra, yaitu keberhasilan penyair atau penulis dalam diksi (pemilihan kata),
imagenary (metaphor, simile, onomatopea, dan sebagainya), paradoks, ironi, dan
sebagainya. Bagi new criticism, bentuk karya sastra menentukan isi karya
sastra. Karena bentuk memegang peran penting, maka titik berat perhaitan new
criticism adalah konotasi, bukan denotasi. Makna denotatif kursi, misalnya,
adalah kursi, sedangkan makna konotatifnya mungkin kedudukan atau kekuasaan.
Kata-kata rebutan kursi, misalnya, mungkin mempunyai makna rebutan atau
kekuasaan, dan sama sekali bukan rebutan tempat duduk. Konotasi,dengan
demikian, memberi uang kepada metafora, simbol, dan lainlain di luar makna
harfiah sebuah kata, rangkaian kata, atau kalimat. Kata glut, dengan makna
denotatif rakus, dapat mempunyai makna lain sesuai dengan konteksnya dalam
rangkaian kata atau kalimat tertentu. Puisi, memang, tidak lain adalah sebuah
dunia metafora. Titik berat kajian new criticism pada bentuk (form) akhirnya
juga dipergunakan oleh formalisme rusia dan strukturalisme. Istilah form
mengacu pada bentuk, dan bentukkarya sastra itu pulalah yang menjadi salah satu
titik penting formalisme yang pertama tidak lain adalah new criticism kendati
new criticism tidak menamakan diri dengan istilah form. Struktur dalam
strukturalisme juga tidak dapat memisahkan diri dari makna form, salah satu
titik berat strukturalisme.
6. Diksi (pilihan
kata)
Wafat, mangkat, meninggal, mati pada hakikatnya mempunyai makna
sama, namun mana kata yang akan dipilih oleh penyair/penulis tergantung dari
penyair/penulisnya sendiri.
7. Tone (nada),
Yakni sikap penyair, penulis, narator, atau aku lirik terhadap
(a) diri sendiri, (b) diri sendiri terhadap objek atau bahan pembicaraan, dan
(c) diri sendiri terhadap lawan bicaranya. Kalimat apakah benarayah saudara
kemarin meninggal? Menunjukkan bahwa pambicaranya tidak menanggap dirinya lebih
tinggi daripada yang diajak bicara dan ayah yang diajak bicara. Kalau kalimat
ini diganti menjadi apa betul ayahmu kemarin mampus? Akan tampak bahwa
pembicara merasa lebih tinggi kedudukannya dibanding yang diajak bicara dan
ayah yang diajak bicara. Makna harfiah dua kalimat ini sebetulnya sama, namun
karena diksi atau pilihan katanya berbeda, maka tone atau nadanya juga berbeda.
Dari diksi tampak bahwa konotasi lebih penting daripada denotasi. Dengan adanya
pilihan kata yang berbeda, cara berbicaranya pun tentu berbeda.
8. Metafor,
Yakni pembandingan satu objek dengan objek lain tanpa penggunaan
kata-kata seperti, bagaikan, dan hal-hal semacamnya. “Hamidah adalah
bunga mawar.”
(Hamidah bukan
bunga mawar, namun cantik dan anggun bagaikan bunga mawar).
9. Simile,
Yakni perbandingan objek satu dengan objek lain dengan
penggunaan kata-kata seperti, bagaikan, dan hal-hal semacamnya. “Hamidah cantik bagaikan bunga mawar.”
10. Onomatopea /
peniruan bunyi
“Terdengar
ketepak-ketepok langkah kaki kuda”
11. Paradoks
Paradoks adalah lawan atau kebalikan sesuatu, antara lain dapat
dipergunakan untuk menyindir. Kalau seseorang naik taksi dan taksinya berjalan
terlalu cepat, si penumpang dapat berkata kepada sopir: “Alangkah
baiknya apabila lebih cepat lagi,”
Maksud penumpang adalah “kurangilah laju taksi”. Di sini juga tampak bahwa konotasi lebih penting daripada denotasi.
Namun, paradoks tidak selamanya untuk menyindir, sebagaimana yang tampak pada
kata-kata juliet dalam drama tragedi William Shakesspeare, Romeo and Juliet,
ketika dia berjumpa dengan romeo untuk pertama kali:
“Karena para santo punya tangan yang para peziarah menyentuhnya. Dan telapak tangan terhadap telapak tangan adalah ciuman sakral telapak-telapak tangan”
Paradoks yang baik dalam sebuah karya sastra yang baik biasanya menimbulkan gema pada pikiran para penyair atau pengarang lain. Misalnya paradoks William Shakepeare yang dua abad kemudian masuk dengan versi berbeda ke dalam puisi Coleridge, penyair Romantik pada abad ke sembilan belas. Kadang-kadang paradoks juga tampak seperti moto kendati maknanya mungkin bukan sekadar moto, seperti yang tampak dalam puisi John Donne “Kanonisasi”:
“Dia yang akan menyelamatkan jiwanya, harus kehilangan jiwanya terlebih dahulu dan yang terakhir akan menjadi yang pertama.”
“Karena para santo punya tangan yang para peziarah menyentuhnya. Dan telapak tangan terhadap telapak tangan adalah ciuman sakral telapak-telapak tangan”
Paradoks yang baik dalam sebuah karya sastra yang baik biasanya menimbulkan gema pada pikiran para penyair atau pengarang lain. Misalnya paradoks William Shakepeare yang dua abad kemudian masuk dengan versi berbeda ke dalam puisi Coleridge, penyair Romantik pada abad ke sembilan belas. Kadang-kadang paradoks juga tampak seperti moto kendati maknanya mungkin bukan sekadar moto, seperti yang tampak dalam puisi John Donne “Kanonisasi”:
“Dia yang akan menyelamatkan jiwanya, harus kehilangan jiwanya terlebih dahulu dan yang terakhir akan menjadi yang pertama.”
12. Ironi
Segala sesuatu dalam ironi mempunyai makna berlawanan dengan makna sesungguhnya atau makna denotasi.
Segala sesuatu dalam ironi mempunyai makna berlawanan dengan makna sesungguhnya atau makna denotasi.
a. Ironi verbal:
lawan atau kebalikan dari apa yang diucapkan dan apa yang dimaksudkan
sesungguhnya. Kalimat “Wah, kamu cantik sekali” sebetulnya merupakan alat untuk
menyampaikan maksud sebenarnya, yaitu “Kamu buruk rupa”. Ironi ini dinamakan
verbal karena pembicara hanya mempergunakan kata-kata tertenu untuk
menyampaikan maksud yang sesungguhnya. Dengan sendirinya, ironi verbal ada
hubungannya dengan diksi, yaitu pilihan kata dari buruk rupa diganti dengan
cantik. Diksi tertentu menunjukkan pula tone atau nada, yaitu sikap pembicara
terhadap yang diajak berbicara. Dengan adanya tone atau nada tertentu, nada
berbicara pembicara juga terpengaruh.
b. Ironi
dramatik: lawan atau kebalikan dari apa yang tidak diketahui tokoh dalam sebuah
karya sastra, drama, atau film dan apa yang diketahui oleh pembaca atau
penonton. Dengan kata lain, pembaca atau penonton tahu, namun tokoh dalam karya
sastra, drama, atau film itu tidak tahu. Sebagai misal, penjahat dalam film
menuju utara dengan membawa senapan karena dia yakin polisis ada di utara sana,
tetapi penonton tahu bahwa sebetulnya polisi berada di selatan, di belakang
dia, tidak jauh dari dia.
c. Ironi situasi:
lawan atau kebalikan antara harapan atau persangkaan dan hasil dari harapan
atau prasangka itu. Seorang mahasiswa, misalnya, merasa sangat senang karena
dalam ujian dia sanggup menjawab semua pertanyaan dengan sangat mudah. Dia
memiliki keyakinan besar bahwa dia akan lulus. Keyakinan bahwa dia akan lulus
tidak lain merupakan harapan. Namun, ketika pengumuman hasil ujian keluar,
ternyata dia tidak lulus—kenyataan yang benar-benar berlawanan dengan
harapannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M. H. 1981. A Glossary of Literary
Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston
Adams, Hazard. 1971. Critical Theory Since Plato.
New York: Harcout Brace Jovanovich, Inc.
Al-Mausu’ah al-syi’riyyah. tt. Abu Dabi: Al
Majma’ al Tsaqafiy lil Imarat al Arabiyyah al Muttahidah. Versi CD.
Badawi, M. M. 1975. A Critical Introduction to
Modern Arabic Poetry. Cambridge: Cambridge University Press.
Bartens, Kees. 1985. Filsafat Barat Abad XX,
jilid II, Perancis. Jakarta: Gramedia
Beeston A.F.L. dkk. 1983. Arabic Literature to
The End of The Umayyad Period. Cambridge: Cambridge University Press.
Culler, Jonathan. 1981. Structuralist Poetics:
Structuralism, Linguistics and the Study of Literature. London: Routledge &
Kegan Paul.
Damono, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra.
Jakarta: Dikti Depdikbud.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra.
Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.
Eagletton, Terry. 1983. Literary Theory: an
Introduction. Great Britain: TJ Press.
Fokkema, D.W dan Elurd Kunne-Ibsch. 1977.
Theories of Literature in the Twentieth Century. London: C. Hurst &
Company.
Hartoko, Dick. 1982. “Pencerapan Estetik dalam
Sastra Indonesia” dalam Basis, XXXV 1 Januari. Yogyakarta: Andi Offset.
Hartoko, Dick. 1986. Kamus Populer Filsafat.
Jakarta: CV Rajawali.
Holland, Norman. 1968. The Dynamics od Literary
Response. New York: State University Press.
Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading: a
Theoru of Aesthetic Response.
Balitmore and Londong: The John Hopkins
University Press.
Jauss, HR. 1982. Toward an Aesthetic of
Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Juwairiyah. 2004. Sejarah Sastra Arab Masa
Jahili. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Surabaya dan Penerbit Sumbangsih.
Lesser, Simon O. 1962. Fiction and The
Unconscious. New York: State Universitu Press.
Mawardi, Muhammad Ja’far. 2003. Perbandingan
Syair Jarir, Farozdaq, dan Akhtol. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel.
Nasr, Muhammad Ibrahim. 1994. Al-Adab. Riyad:
Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Saud al-Islamiyyah.
Noth, W.1990. Handbook of Semiotics.
Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko.1987. Pengkajian Puisi.
Yogyakarta: UGM Press
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry:
Bloomington and London: Indiana University Press.
Santoso, Puji.2003. Bahtera Kandas di Bukit:
Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Sarhan, Muhammad. 1978. Al-Adab al-Arab wa
Tarikhuhu fi al-Ashr al-Jahili. Beirut: Dar al-Fikr.
Selden, Rahman. 1991. Panduan Pembaca Teori
Sastra masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat D. Pradopo. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Suwondo, Tirto.2003. Studi Sastra: Beberapa
Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori
Sastra. Flores: Nusa Indah.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra:
Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A.1980. “Estetik, Semiotik, dan Sejarah
Sastra” dalam Basis No. 301. Bulan Oktober.
Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Van Luxemburg, Jan, dkk. 1986. Pengantar Ilmu
Sastra. Diindonesikan oleh Dick Hartono. Jakarta: Gramedia.
Wellek, Rena dan Austin Warren. 1993. Teori
Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Sumber:
Yusuf, Kamal. 2009. Teori Sastra: Modul Kuliah. Fakultas Adab, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Sunan Ampel Surabaya
Sumber:
Yusuf, Kamal. 2009. Teori Sastra: Modul Kuliah. Fakultas Adab, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Sunan Ampel Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar